Friday, January 14, 2022

Friendship Like A Turttle

Gambar dibuat dengan AI generate

Berbicara dengannya selalu melemparku ke masa lalu. Ketika aku masih sibuk meratapi diri dan bingung kemana menuju, aku sungguh melihat diriku padanya.

Kami bertemu bulan April 2021 di sebuah komunitas internasional. Persahabatan kami bagai kura-kura, katanya. Jatuh bangun, datang pergi, kadang bergandengan bagai teman, kadang kami saling membenci bagai musuh.

Dan hari ini kami bicara tentang sebuah kehilangan dan pengorbanan. Dari pembicaraan iseng-iseng, aku minta dia mengirimkan coklat. Siapa sangka ternyata permintaanku yang biasa, sungguh diturutinya.

Dia mulai check-in di Amazon. Meminta data dan alamatku sekaligus melunasi pembayarannya. Untuk sekotak coklat, dia membeli dengan sangat mahal. Ya sudahlah, untuk seorang editor terbaik di India itu tidak seberapa baginya.

Di akhir pembicaraan, kami berbicara tentang kesepian. Ya, kesepian yang dia rasakan dengan karir, uang, jabatan, dan kekuasaan yang dia miliki. Bagi banyak mata, dia terlihat sempurna. Namun kejujuran tentang perasaannya tidak bisa dia bagikan dengan semua orang.

Entah bagaimana, cerita kesepian itu menggugah apa yang telah aku lalui tiga belas tahun lalu. Tiga belas tahun sendiri sebagai ibu tunggal, memberiku banyak warna. Namun dari kegagalan hubungan pernikahan, aku belajar bahwa hubungan adalah tentang kebersamaan.

Banyak orang yang curhat denganku, mengatakan bahwa mereka memiliki pasangan tapi selalu merasa kesepian. Bahwa mereka sendiri dalam kebersamaan. Dan itu juga yang aku rasakan ketika aku memiliki suami.

Apakah lantas semua salahnya? Tentu saja tidak. Pasti ada andilku dalam buruknya hubungan kami. Semua kembali tentang hati. Karena dengan mereka yang jauh pun saat hati terkoneksi, rasa berhasil memeluk jiwa, maka kesepian tidak ada lagi dalam kata.

Kegagalan membuatku belajar, untuk tidak lagi mengulang sebuah kesalahan. Membuatku melakukan seleksi ketat dan kriteria luar biasa tentang pria yang aku inginkan.

Setangkup doa aku panjatkan untuk dia yang hari ini mengirim coklat untukku. Aku berharap ini hanya masalah waktu sampai kamu bisa menemukan sebuah jalan baru. Jalan yang akan membawamu pada arti cinta sesungguhnya.

Pria sebaik dirimu terlalu berharga untuk tenggelam dalam luka. Kamu hanya butuh sebuah kesempatan untuk kembali membangun apa yang selama ini kamu lupakan. Tentang hubungan, keinginan, dan harapan.

Tidak mudah, namun tetaplah melangkah. Aku genggam tanganmu sebagai sahabat hingga suatu hari nanti, cinta baru akan datang memenuhi hidupmu.

Biarkan waktu yang memilih apakah masa untuk hubungan baru itu akhirnya akan datang suatu hari nanti. Atau malah membawa ke bagian lain, tentang hubungan dan cinta dalam bentuk yang sempurna. Dalam bentuk yang berbeda.

Kadang Tuhan membiarkan kita melakukan kesalahan untuk membuat kita mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang hari ini. Bahwa cinta adalah rasa dan hanya bisa dilihat oleh jiwa.

Namun tujuan akhir dari semua adalah bahagia.

Salam Sayang,
Ans

Thursday, January 6, 2022

Sebuah Reuni

 



Pertemuan kembali dengan teman lama masa sekolah memang selalu menyenangkan. Mengingat kembali masa muda dengan sejuta kenangannya. Salah satu alasan banyak reuni – reuni diadakan. Dan dari pertemuan dengan berbagai orang masa lalu ini, ada saja secuil kepingan yang terbawa ke masa depan tanpa sengaja.
Malam itu Yuni datang ke rumahku dengan sebuah koper besar. Tidak biasanya Yuni datang untuk menginap. Selain karena dia memang sudah berkeluarga, kami juga sebenarnya tidak terlalu akrab. Sebuah kejutan.
“Kenapa Yun?”
Yuni dengan ekspresi dingin menyecap teh panas yang baru saja kusajikan.
“Besok aku akan pulang ke Padang.”
“Sendiri?”
“Iya.”
“Suamimu tahu?”
“Kalau suamiku tahu, aku tidak perlulah transit disini. Tiket pesawatku baru akan terbang besok pagi, tapi apa daya malam ini bom sudah terlanjur meledak. Aku tidak sanggup lagi bertahan di rumah walau satu malam.”
“Dimana anak – anak?”
“Sejak seminggu lalu Wira dan Winda telah kembali ke pesantren.”
“Kenapa kamu ingin pulang ke Padang?”
“Aku ingin bercerai dengan suamiku.”
Ting nong!!! Lonceng berbunyi di kepalaku. Aku hanya diam menunggu Yuni meneruskan ceritanya.
“Tiga bulan lalu aku pergi ke Padang untuk reuni SMA dan aku bertemu dengan cinta pertamaku. Cinta yang sebenarnya telah kugadang – gadang akan berlabuh ke pelaminan. Tapi apalah daya karena dia dalam beberapa tahun tidak juga berhasil membuat hidupnya mapan, maka orang tuaku pun tidak setuju. Saat itu aku adalah seorang gadis muda yang tidak berdaya. Aku menerima saja ketika orang tuaku mengatur perjodohan.
Perjodohan dengan pria yang sepuluh tahun lebih tua dariku. Seorang pegawai negeri, memiliki kehidupan yang nyaman. Dia yang sekarang menjadi suamiku. Sampai saat ini aku berusaha sebaik mungkin sebagai istri dan melayani. Tapi setelah pertemuan dengan cinta pertamaku, hati dan jiwaku meronta.
Aku menyadari bahwa aku telah kehilangan kebebasan begitu lama. Dan aku mengorbankan kebahagiaan dengan orang yang tidak aku inginkan. Hal sama ternyata terjadi juga dengan pria cinta pertamaku. Dia pun ingin kembali ke masa itu. Dimana genggaman tangan pun cukup membuat kami merasa memiliki dunia.
Setelah reuni itu aku terus berkomunikasi dengannya. Dan aku semakin menyadari bahwa cintaku padanya tetaplah rasa yang sama. Semakin hari semakin jelas keinginanku untuk membangun lagi apa yang dulu pernah direbut paksa dariku.”
Aku menghela nafas panjang, memang begitulah cinta seringkali cara kerjanya tanpa logika. Tapi usia dewasa harusnya cukup membuat orang mengerti bahwa pernikahan adalah soal komitmen dan janji. Bukan hanya di depan manusia tapi juga di mata Sang Pencipta.
“Jadi apa rencanamu Yun?”
“Aku akan pulang ke Padang untuk mengurus perceraian. Dan cinta pertamaku itu sekarang sedang melakukan proses yang sama. Kami akan menikah setelah semuanya selesai. Aku sudah mencoba berpisah baik – baik dari suamiku tapi dia tidak mau mengerti dan memaksaku untuk tetap tinggal sebagai istrinya. Mana mungkin, aku serumah dan seranjang dengannya sementara hatiku untuk yang lain.”
Mataku berkabut mendengar cerita Yuni. Aku sungguh tidak mengerti dalam hal ini siapa yang salah. Yang aku tahu dengan mereka memperjuangkan cinta maka akan banyak hati yang terluka. Hati dari pasangan sah masing – masing dan juga anak – anak yang tidak tahu menahu tentang masa lalu.
Aku tidak bisa memberikan komentar apapun untuk cerita Yuni. Semua keputusan tentu saja dia yang akan membuat dan menjalani. Namun ada sesuatu yang menurutku patut untuk dipertanyakan.
“Yun, bagaimana jika kamu yang di posisi suamimu? Apakah kamu akan tetap tenang jika tahu suamimu meletakkan hatinya di tempat lain. Padahal secara sah dan secara agama dia adalah milikmu?”
Yuni terdiam sejenak. Dia meminum teh yang sudah tidak panas lagi dari gelasnya.
“Aku akan memberikan reaksi yang sama dengannya.”
“Lalu apa yang membuatmu yakin bahwa cinta pertamamu itu akan memberikanmu lebih baik dari apa yang suamimu saat ini berikan? Setidaknya suamimu sekarang sudah membuktikan bahwa dia sanggup memberimu kehidupan yang layak. Melengkapimu dengan dua orang anak dan menjagamu sebagai wanitanya.”
“Aku merasakan keinginan yang berbeda dan detakan jantung melebihi irama biasa ketika aku bersama cinta pertamaku di dalam sebuah kamar.”
Kusandarkan punggungku ke kursi sofa. Otot – ototku terasa lemas dan kepalaku sedikit berkunang – kunang mendengar penjelasannya. Jika hubungan Yuni dan cinta pertamanya sudah sejauh itu tentu saja hanya mereka berdua yang tahu.
“Yun, mungkin pernyataanku ini sedikit berlebihan. Tapi menurutku kamu telah jauh melangkah. Apakah ini masih bisa disebut ingin bersama karena cinta. Bisakah sekarang kita membedakan antara cinta dan gairah semata?”
“Ini hidupku, tentu saja aku yang lebih tahu.”
“Baiklah Yun, setiap orang berhak untuk memilih dengan cara apa dia ingin bahagia. Tapi setidaknya berbelas kasihanlah pada nyawa – nyawa tanpa dosa dari hasil pernikahan kalian. Kalian bolehlah berpisah tapi pikirkan apa langkah terbaik yang akan kamu berikan untuk mereka. Bagaimana kamu akan memberikan mereka pengertian dan pengasuhan setelah kalian berpisah. Serta bagaimana anak – anak akan menerima cinta pertamamu itu sebagai bagian dari masa depan mereka.”
“Anak – anak masih akan beberapa tahun lagi hidup di pesantren. Dan mereka tidak harus menerima suami baruku nanti sebagai ayah mereka. Kan mereka masih punya ayah yang sebenarnya. Mereka menerima atau tidak, cinta pertama itu akan menjadi bagian hidupku itu saja.”
Nampaknya alasan cinta telah menutup setiap sel cara berpikir Yuni. Sebanyak apapun yang aku katakan tidak akan berguna saat ini. Aku mengerti rasa dalam dirinya. Dan jika memang berpisah adalah pilihannya tentu saja tidak ada lagi orang yang bisa menghalangi.
Namun demikian sebagai single mom yang telah dua belas tahun membesarkan anak dengan pengasuhan tunggal, aku tahu persis suka dukanya. Aku tahu bagaimana mental anak – anak yang tumbuh dengan keluarga pincang. Bisa memang, putriku pun tumbuh sehat, utuh dan berprestasi.
Tapi dibalik itu semua aku berjuang mati – matian, habis – habisan untuk menjadi pembimbing arah dan membangun percaya diri putriku. Keputusan berpisah yang kebuat dengan cara tidak mudah dan tanpa alasan orang ketiga.
Sebagai wanita dan ibu, anak adalah prioritas utamaku. Setiap kali aku harus membuat keputusan maka putriku adalah pertimbangan utamaku. Sungguh tidak bisa kubayangkan mengambil keputusan atas kebahagiaan pribadiku.
Semua kembali pada pribadi dan cara pikir seseorang yang dibentuk dari hasil masa lalu juga pengalaman hidup. Manusia tidak perlu berusaha mengerti alasan tindakan seseorang. Dan tidak perlu juga menjelaskan alasan ketika mengambil keputusan. Karena dalam hidup ini selalu tersedia alasan untuk membenarkan atau menyalahkan. Penting untuk tidak menghakimi berdasarkan kaca mata kita sendiri.

Salam Sayang
Ans

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/