Saturday, September 30, 2023

Anak Laki-laki

Gambar dibuat dengan AI

Aplikasi yang tidak biasa. Banyak aplikasi sosial media dengan kontak yang sama, hanya menghabiskan kapasitas memori ponsel. Maunya satu aplikasi sudah bisa untuk semua orang. Tapi selalu ada saja kepentingan yang akhirnya harus memasang sebuah aplikasi untuk satu dua orang saja.

Dan hari itu aku meng-install aplikasi warna hijau dengan simbol senyum di tengahnya. Bukan aplikasi yang banyak digunakan oleh orang memang. Tapi karena salah satu kolegaku di luar negeri meminta aplikasi ini sebagai sarana berkomunikasi, ya sudahlah kupasang juga. Setelah aplikasi terpasang, aku melakukan test message kepada kolega tersebut dan tidak langsung mendapat balasan. Sambil menunggu, aku check disana siapa saja dalam daftar kontakku yang menggunakan aplikasi ini. Mataku berhenti pada salah satu kontak, itu adalah kontak dari suami temanku, Rina. Kontak itu berada di ponselku karena temanku pernah menghubungi suaminya ketika dia bersamaku namun tidak membawa ponselnya. Dan dia memintaku untuk menyimpan saja nomor suaminya di ponselku.

Aku sendiri bahkan lupa nomor itu ada di kontak ponselku. Namun yang menggelitik adalah kenapa di profil aplikasi ini si suami memasang foto orang lain. Seorang wanita yang tengah menggendong seorang anak laki-laki berusia sekitar tiga tahun. Mereka kelihatan sangat bahagia.

Sekali lagi ini adalah aplikasi yang tidak biasa. Tidak semua orang pada umumnya menggunakan aplikasi ini. Sebuah lampu kuning menyala di kepalaku, apakah Rina tahu siapa orang ini. Lalu aku mengirim pesan pada Rina.

“Rin, kamu pakai aplikasi hijau ada senyumnya nggak?
“Nggak tuh, kenapa?”
“Suamimu tapi pakai ya?”
“Nggak tahu juga ya, aku nggak pernah ngecek ponsel dia. Kenapa sih kok serius banget. Ngapain kali kamu jam segini inget suami orang”
Rina melampirkan emoticon tawa di kalimat terakhirnya. Rina tahu aku adalah seorang single mom, dan dia juga tahu aku menjadi single mom karena pilihan.

“Nggak sih Rin, aku baru saja pasang aplikasi itu dan aku lihat suamimu salah satu penggunanya juga”
“Mungkin ya… terus apa gitu pentingnya?”
Sejenak aku ragu untuk menanyakan sesuatu yang sebenarnya bukan urusanku. Namun lampu kuning di kepalaku berkedip makin kencang. Dan kukirimkan foto wanita di profil suaminya kepada Rina.

“Rin, kamu kenal dia?”
Rina tidak menjawab apapun. Dan aku juga tidak menunggu jawaban karena pesan dari kolegaku mulai masuk untuk membicarakan masalah pekerjaan. Aku pun melupakan pertanyaan sekaligus pesan yang aku kirimkan ke Rina. Hingga waktu jam kantor selesai, dan sesaat sebelum aku masuk ke taksi biru untuk pulang aku menerima pesan Rina.

“Sebelum pulang ke rumahku dulu ya, aku beli kue nih buat anakmu”
“Okay”
Rina sehari-hari adalah ibu rumah tangga yang selalu ada di rumah. Jarak rumah kami tidak terlalu jauh, masih di komplek yang sama. Hanya beda beberapa blok saja. Dan aku pun mengarahkan taksi biru menuju rumah Rina sebelum ke rumahku. Aku pikir keperluan hanya untuk mengambil kue jadi aku minta sopir taksi untuk menunggu.

Setelah dua kali aku mengetuk pintu, Rina keluar menatapku lalu memelukku dan mulai menangis. Aku merasa canggung, aku orang yang tidak suka memeluk ataupun dipeluk. Aku memegang bahu sahabatku dan melihat wajahnya.

“Kenapa Rin? Dimana anak-anak?”
Rina mempunyai dua orang anak perempuan yang berusia sembilan dan lima tahun. Rina memberi kode memintaku untuk masuk ke dalam rumah. Sedetik sebelum kami menutup pintu, sopir taksi menyalakan klaksonnya.

Tin!
Aku menoleh dan teringat, selain taksinya belum kubayar juga aku meminta taksi menunggu terlalu lama. Aku bergegas ke jalan untuk ‘membereskan’ semua urusan pertaksian itu. Dan kembali masuk ke rumah Rina.

Rina telah duduk di sofa ruang tamunya dengan mata berkaca-kaca dan tissue di tangannya.

“Kenapa Rin?”
“Yang kamu kirimkan padaku tadi siang itu, itu adalah istri kedua Mas Nanang”
Aku manatap Rina tidak percaya. Kuambil air mineral gelas yang sejak semua memang tersedia di meja tamu Rina. Rumah tangga Rina dan suaminya tampak baik-baik saja. Suaminya adalah seorang yang sangat penyayang pada keluarga. Dua anak perempuannya tumbuh sehat dan cerdas. Berbagai prestasi mereka raih di sekolah ataupun di madrasah. Rina sendiri adalah aktivis lingkungan yang selalu aktif dalam berbagai kegiatan.

Suaminya pengusaha yang lebih dari cukup dalam segalanya. Mereka memiliki rumah yang nyaman, kendaraan yang baik dan kehidupan yang dimata lain terlihat sempurna. Setiap sabtu sore atau minggu pagi Rina akan keluar makan bersama suami dan anak-anaknya. Atau sekedar jajan di mall dan nonton bersama. Aku tahu persis karena kadang kala Rina mendadak ke rumah menjemput putri tunggalku yang sepantaran dengan anak tertuanya untuk diajak serta.

Rina melanjutkan ceritanya,

“Empat tahun lalu sesudah kelahiran putriku yang kecil, Mas Nanang begitu kecewa. Karena dia sangat ingin memiliki anak laki-laki. Belum lagi aku keluar dari rumah sakit pasca melahirkan, kami bertengkar hebat. Aku meminta dokter melakukan steril kandungan karena usiaku yang tidak muda lagi. Dua anak cukup bagiku.

Tapi suamiku berkeras bahkan melarangku untuk memakai alat kontrasepsi. Dia ingin aku dengan segera hamil lagi. Pertengkaran inilah yang akhirnya membuat dia mengeluarkan ancaman. Jika dalam satu tahun aku tidak hamil lagi maka dia akan membagi dirinya dengan istri kedua. Dan ternyata ALLAH memang tidak menghendaki aku memiliki anak lagi. Meskipun tanpa steril dan alat kontrasepsi.

Mas Nanang pun mewujudkan ancamannya seperti gambar yang kamu kirimkan padaku. Aku tahu siapa perempuan itu dan perempuan itu juga tahu siapa aku”.
Dengan tetap berusaha tegar Rina menceritakan semuanya padaku.

“Kamu baik-baik saja Rin? Ataukah kamu diam-diam sedang bertahan?”
“Aku bertahan demi anak-anak yang telah menjadikan ayah mereka panutan, pahlawan sekaligus cinta pertama mereka. Aku tidak sanggup membayangkan anak-anakku jauh dari ayahnya. Meskipun ayahnya memang telah membagi hati dan hidupnya namun biarlah hanya aku yang tahu dan menanggung lukanya”
Aku menghembus nafas panjang. Lagi dan lagi, kenapa selalu harus begini. Wanita-wanita yang menguji kekuatan dan bertahan dengan luka. Sampai kapan mereka akan membiarkan diri mereka sedikit demi sedikit tergerus oleh rasa kecewa. Bertahan demi seorang pria menurutku hanya masalah waktu untuk meledak pada akhirnya.

Namun sekali lagi hidup adalah tentang pilihan. Aku memilih menjadi ibu tunggal untuk menyelamatkan jiwaku dari hubungan yang beracun dengan mantan suami.

Begitu pun ketika Rina memutuskan untuk bertahan demi alasan apapun tidaklah salah juga. Semua kembali pada kesanggupan masing-masing untuk menjalaninya. Hidup ini kita hanya menyaksikan apa yang dilihat oleh mata. Namun cerita dibalik itu, sesungguhnya tidak ada manusia yang benar-benar tahu selain mereka yang melaluinya.

Salam Sayang Ans

Ikhlas Yang Menyakitkan

Gambar dibuat dengan AI generate

Sebuah cerita tentang luka. Memang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Bahkan hubungan besar yang dimulai dengan cinta dan janji setia di depan Sang Pencipta pun sering kali tidak cukup tangguh untuk diuji. Beberapa ujian datang seperti badai yang menyakitkan. Dan beberapa lagi hadir bagai angin sepoi-sepoi yang melenakan. Keduanya sama memiliki peluang untuk membuat manusia lupa tentang langkah awal apa yang diinginkannya.

Namanya Verily, aku biasa memanggilnya Mbak Veri. Malam itu disaat karyawan lain telah keluar dari kantor, aku pun bersiap pulang. Keluar dari ruangan, kulihat masih ada satu sudut lampu menyala. Disaat lampu yang lain telah padam tak berpenghuni. Waktu memang telah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Namun ruangan itu nampak sepi, tanda tidak ada lagi orang disana.

Aku melangkah mendekat untuk memastikan sekaligus mematikan lampu ruangan itu. Aku pikir mungkin penghuni terakhir lupa mematikan karena terburu-buru. Sayup-sayup kudengar suara tangisan, suara siapa itu? Aku hampir saja melangkah balik karena ketakutan keburu menyergapku. Tapi kudengar dia sedang berbicara dengan seseorang. Ketika suara bantingan terdengar, aku berlari masuk ke ruangan itu.

Aku melihat Mbak Veri duduk di lantai sudut ruangan. Dengan mata sembab dan ponsel hancur di depannya. Mbak Veri pun melihat aku berdiri di pintu. Aku tidak menunggu aba-aba untuk menghampirinya. Aku duduk di lantai sebelah Mbak Veri. Memang sudah lama kudengar desas desus tentang rumah tangganya yang sedang diambang kehancuran.

Namun karena kami beda divisi dan tidak terlalu akrab, aku menerima kabar itu sebagai gosip belaka yang tidak perlu ditindaklanjuti. Melihat Mbak Veri dengan kondisi sehancur ini, aku pun tidak tahu apa yang harus dikatakan selain duduk disampingnya.

“Silahkan kalau Mbak perlu telinga untuk meringankan beban hati.”

Aku membiarkan Mbak Verily menangis lebih keras. Dan beberapa waktu sampai benar-benar reda. Kuberikan sekotak tisu yang kuraih dari mejanya.

“Suamiku menikah lagi.”

Jawaban yang sebenarnya sudah masuk dalam tebakanku.

“Alasan cinta selalu bisa membenarkan segalanya. Bahkan menyakiti hati yang telah bertahun-tahun dijaga bagai permata.”

Mbak Verily mulai menjelaskan satu per satu.

“Aku masih ingat sepuluh tahun lalu ketika Mas Sandi mencoba meraih hatiku. Banyak penolakan yang aku berikan namun tidak menyurutkan langkahnya. Dia terus berusaha hingga meluluhkan hatiku dan menerimanya. Rumah tangga kami bahagia dan lengkap dengan seorang putra dan seorang putri. Aku memiliki karir yang cemerlang, Mas Sandi memiliki perusahaan yang berkembang. Setiap tahun kami sekeluarga pergi liburan keluar negeri. Apapun keinginan dan kebutuhan selalu bisa kami penuhi. Hidup kami boleh dibilang sempurna.”

Mbak Verily tersenyum mengingat keindahan rumah tangganya. Sebelum akhirnya melanjutkan dengan nada perih.

“Sampai seorang wanita baru datang dalam hidupnya. Wanita yang sebenarnya juga tidak bermaksud menggoda suamiku. Mas Sandi bertemu dengannya saat mengantarku ke rumah sakit. Saat aku sedang masuk ke ruangan dokter, di ruang tunggu itu Mas Sandi berbincang dengan wanita itu.

Wanita berhijab panjang yang duduk di sebuah kursi roda. Dengan seorang bayi di pangkuannya. Dan ternyata dia seorang ibu tunggal yang baru saja kehilangan suaminya. Entah bagaimana akhirnya mereka bertukar nomor telepon dan berkomunikasi lebih jauh. Aku pun tahu komunikasi mereka karena Mas Sandi sering menunjukkan padaku.

Tapi aku pikir wanita itu bukan sainganku dengan kondisinya yang tidak bisa berjalan. Dan aku secara apapun jauh di atasnya. Aku cantik, berpendidikan, dan memiliki karir. Aku pun telah melengkapi Mas Sandi dengan melahirkan anak-anaknya. Aku pikir kedekatan Mas Sandi dengannya hanyalah sebatas belas kasihan. Hingga suatu hari Mas Sandi membawa wanita itu ke rumah kami dan mendorong kursi rodanya memasuki rumah. Mereka meminta izin untuk menikah. Aku tidak serta merta mengizinkan suamiku menikah lagi.

Meskipun saat itu alasannya adalah belas kasihan tapi tetap saja membagi hati bukanlah hal yang bisa diterima. Namun rasanya saat itu arogansi menguasaiku. Aku ingin Mas Sandi tahu bahwa aku baik-baik saja dengan keputusannya. Aku tidak akan bersaing dengan seorang wanita cacat. Aku mulai membuat sederet perjanjian di depan notaris.

Bahwa semua harta selama pernikahan kami adalah hakku dan anak-anak. Bahwa anak-anak dengan kondisi apapun adalah mutlak dibawah perwalianku. Dan deretan perjanjian yang mengamankan diriku. Namun nyatanya perjanjian itu tidak bisa mengurung hati suamiku dan bahkan anak-anakku.

Wanita itu dengan segala usaha Mas Sandi akhirnya sedikit demi sedikit pulih dari kelumpuhannya. Namun tetap dalam banyak hal aku lebih dari dia. Aku tetap merasa aman dengan segalanya. Aku bahkan mengizinkan anak-anakku setiap kali datang ke rumah wanita itu bersama Mas Sandi untuk berkunjung. Dan anak-anak selalu bahagia untuk menceritakan banyak hal saat kembali ke rumah. Jika dia memang baik dan mengasihi anak-anak, aku pun tidak punya alasan untuk membencinya.

Namun beberapa hari terakhir aku menyadari jika ternyata aku telah kehilangan semuanya. Mas Sandi dan anak-anak. Wanita itu memang tidak memiliki karir secemerlang karirku. Tapi dia memiliki keahlian memasak yang membahagiakan suami dan anak-anakku. Apapun yang Mas Sandi dan anak-anak minta, dia akan memasak dengan segera di dapurnya. Dia mungkin tidak secantik diriku tapi dia memiliki waktu mendongeng untuk anak-anakku. Dia juga tidak secerdas aku tapi dia memiliki kepatuhan terhadap agama yang dicontoh oleh anak-anakku.

Dan hari ini aku merasa jadi wanita termiskin dan termerana di dunia. Apa yang aku banggakan ternyata tidak membuatku berarti di mata suami dan anak-anakku.”

Mbak Verily menangis dengan sangat keras di bahuku. Jujur aku bingung bagaimana menerima semua curhatannya. Dan aku bukan tipe wanita yang suka "mem-puk-puk" pundak wanita lain ketika mereka dalam kesedihan dan lemah. Bagiku kekuatan harus tumbuh dari dalam diri sendiri. Dalam banyak kasus sudah terbukti bahwa pelukan akhirnya malah melemahkan.

Aku diam membiarkan air mata Mbak Verily habis. Sampai menjelang tengah malam. Dan akhirnya Mbak Verily mengucapkan terima kasih karena aku menyediakan telinga untuk membuatnya merasa lebih ringan. Aku memang tidak memberi solusi karena sungguh menurutku solusi itu ada dalam diri Mbak Verily sendiri.

Aku pernah di posisi itu dan aku tahu rasanya ketika dunia seolah meminta untuk memutuskan. Melanjutkan hidup bersama orang yang pernah kupilih sebagai belahan jiwa. Atau memilih untuk sendiri bersama diriku yang kukasihi. Dan akhirnya aku memilih menjadi Ibu tunggal selama dua belas tahun terakhir ini.

Satu hal yang aku pelajari dari kisah malam ini adalah tentang kebahagiaan yang sejati. Pastikan apa yang ingin dijalani untuk menentukan kemana kaki melangkah. Dan setelahnya setiap orang harus memutuskan.

Keputusan yang di akhir cerita sangat menentukan apa yang akan kita dapatkan. Membanggakan diri karena pujian yang lain bukan karena pencapaian yang diharapkan. Kejutan pahit dan lintasan manis adalah bagian dari hidup. Suka tidak suka itulah yang membuat hidup disebut sempurna.

Salam sayang Ans



Menjadi Istri

Gambar dibuat dengan AI generate

"Boleh aku ngutang beras seliter dan uang lima puluh ribu?"

Bukan pertama kalinya Martha datang ke toko sembako milikku untuk hal seperti ini. Jika Martha adalah orang yang kekurangan maka aku akan sangat mengerti. Aku bukan tipe orang yang segan memberi pertolongan. Hanya saja seringkali kedatangan Martha membuatku geram, dengan suaminya.

"Kenapa sih Ta, cobalah bicarakan dengan suamimu. Mana bisa lagi di jaman ini orang hidup dengan uang segitu?"

"Aku tidak mau timbul kekacauan yang akhirnya merusak emosiku. Sudah berkali – kali aku mencoba bermusyawarah dengannya tapi entah kenapa selalu saja aku kalah."

Martha adalah tetangga dekat rumahku. Setiap kali dia akan datang untuk meminjam uang atau seliter beras di toko sembako milikku. Suaminya seorang pengusaha memiliki beberapa cabang distributor sembako juga toko ponsel di pusat perbelanjaan ibu kota Jakarta. Lalu kenapa Martha setiap kali begitu?

Dari pengakuannya, setiap hari Martha diberikan uang lima puluh ribu oleh suaminya. Uang yang digunakan untuk makan dan keperluan sehari – hari, diluar pembayaran – pembayaran bulanan. Martha memiliki tiga orang anak, usia sepuluh, enam, dan empat tahun. Soal penampilan, tidak ada yang berlebihan dalam diri Martha. Kulitnya yang memang putih, sehari - hari sering kali dibalut daster harga kurang dari lima puluh ribu.

Bisa dibayangkan bagaimana sesaknya Martha harus mengatur keuangan rumah tangga dengan keterbatasan ini, untuk makan dan uang jajan anak - anaknya. Sementara Martha tidak diizinkan suaminya untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Menurut suami Martha, tugas utamanya sebagai istri adalah dirumah melakukan pekerjaan rumah tangga, mendidik anak – anak, dan memastikan suaminya memiliki tempat untuk pulang.

Semua perabotan di rumah Martha, bahkan baju – baju dan peralatan dapur, semua dipilih dan dibeli oleh suaminya. Jika ada sesuatu yang dibutuhkan, maka suaminya yang akan memutuskan apakah benda itu perlu dibeli atau tidak. Jika perlu, maka suaminya yang akan membeli dan Martha terima pakai saja. Jika menurut suaminya benda yang diminta Martha itu tidak perlu dibeli, maka sekeras apapun Martha meminta, maka benda itu tetap tidak ada dalam daftar belanja suaminya.

Berkali – kali Martha mencoba menjelaskan pada suaminya. Bahkan secara rinci dengan sebuah catatan, bagaimana uang lima puluh ribu dapat bekerja untuk sehari – hari kehidupan mereka. Namun suaminya selalu berdalih, disitulah kecerdasan seorang wanita diuji. Menjadikan yang tidak cukup menjadi cukup.

Hal inilah yang membuat Martha seringkali harus gali lubang tutup lubang demi kebutuhan keluarga dan anak – anaknya. Beruntungnya Martha, kadang jika orang tuanya datang mengunjungi, maka akan memberikan sejumlah uang untuk jajan anak – anaknya sebagai bentuk kasih sayang. Dan uang ini yang kemudian oleh Martha digunakan untuk menutup hutang – hutangnya pada tetangga.

Jika suaminya adalah orang yang tidak berpenghasilan, tentulah bisa dimengerti. Namun apa yang dilakukan itu disebutnya dengan penghematan. Lantas kemana uang hasil usaha suaminya selama ini pergi? Martha tidak pernah mendapat jawaban pasti. Bahkan berapa deretan angka yang ada di rekening suaminya pun Martha tidak tahu. Martha hanya tahu setiap pagi dia akan mendapatkan lima puluh ribu.

Tuntutan lain adalah ketika suaminya pulang di sore hari, maka anak – anak dan rumah sudah harus dalam kondisi rapi. Pernah sekali suaminya datang, karena beberapa hal anak Martha yang balita masih bermain di luar dan sedikit kotor karena seru dengan teman – temannya. Seketika tamparan pedas mendarat di pipi Martha. Tamparan yang tidak segan diperlihatkan di depan semua orang dan tetangga. Tidak bisa kubayangkan perasaan Martha saat itu. Mungkin jika aku di posisi yang sama, reflek aku akan membalas seketika. Alih – alih menjaga kehormatan suami, Martha memilih berlari dan masuk ke dalam rumah. Setelah itu kami semua tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Pernah suatu siang aku mencoba berbicara dari hati ke hati bersama Martha.

"Kenapa sih Mar, kamu nggak berpisah saja darinya?"

"Aku terlalu mencintainya."

"Cinta itu kan soal rasa Mar, butuh di pupuk dan di pelihara. Bagaimana hubungan baik akan muncul jika yang sibuk hanya satu orang saja sementara yang lain sama sekali tidak peduli?"

"Sejak aku kecil, aku tidak pernah hidup tanpa pria. Dulu Papi segalanya bagiku. Dan setelah aku menikah suami adalah hidupku. Sungguh tidak kubayangkan bagaimana jika aku harus tanpa suami."

"Kan kamu bisa kembali ke rumah orang tuamu. Papimu masih sehat, memiliki bisnis yang bagus. Jelaskan saja pada mereka tentang apa yang kamu alami. Menurutku saran mereka pasti sama dengan aku. Atau hal lain, mungkin mereka bisa membantumu untuk berbicara dengan suamimu."

"Aku adalah anak tertua dari orang tuaku. Tidak kubayangkan bagaimana reaksi kecewa mereka jika tahu aku tidak bisa mempertahankan rumah tangga hanya karena alasan uang lima puluh ribu."

"Tapi kan Mar, bukan hanya uang itu masalahnya. Masalah lain, suamimu sama sekali tidak memberikan rasa hormat padamu. Lihat dirimu, pernahkah suami memanjakan dan memberimu hadiah? Atau sesekali mengajakmu pergi berdua saja? Nggak kan? Suamimu hanya mau tau rumahnya rapi, anak – anak tumbuh, dan dia punya tempat yang disebut rumah. Dia tidak memikirkan kebahagiaanmu."

"Tapi dia juga tidak melakukan hal itu untuk dirinya sendiri."

Martha begitu yakin bahwa setiap pagi suaminya keluar untuk mengurus usaha – usaha mereka dan kembali di sore hari ke rumah tanpa ada acara lain di luar sana. Padahal dari slentingan – slentingan yang kudengar, banyak yang melihat suami Martha seringkali singgah di tempat pijat urut plus – plus.

Apapun alasannya diakhir pembicaraan, Martha tetap dengan pendirian untuk bertahan dalam pernikahan. Aku kagum pada pendirian dan imannya. Dia percaya bahwa dengan ketulusan dan perjuangan yang dia lakukan, suatu hari dia akan tiba di tempat yang indah pada akhirnya. Kepercayaan yang aku aminkan.

Namun sampai saat itu tiba, sebagai manusia kita tidak pernah bisa membaca masa. Apakah waktu itu akan tiba akhirnya atau waktu itu akan berakhir sebagai sebuah asa belaka. Aku sendiri memilih untuk mengakhiri kegelisahan hati. Bagiku hidup hanyalah tentang hari ini. Jika bersama seseorang malah justru membuat hatiku terasa sunyi maka, aku pastikan bahwa aku sedang bersama orang yang salah. Betul memang manusia tidak pernah benar – benar tahu keputusannya baik atau buruk, benar atau salah, sampai manusia itu sendiri masuk dan menjalaninya.

Namun pun demikian jika kenyataan sudah di depan mata dan berusaha dinaifkan karena segenggam asa, menurutku bukanlah hal yang bijak. Menjadi bijak dengan memiliki pilihan, yang diambil dan diinginkan secara nyata. Untuk kemudian bertanggung jawab atas pilihan itu sendiri. Sebagai manusia yang telah tumbuh dan dewasa.


Salam sayang
Ans


Ayam Teriyaki Lengkuas

Gambar dibuat dengan AI generate

Ya udah, aku bagian makan lengkuasnya aja deh...
Setiap pagi, perdebatan selalu jadi sarapan antara aku dan mamah tentang daftar menu hari ini. Mamahku selalu bingung mau masak apa dan menanyakan padaku untuk mendapat kebingungan yang sama.
“Kamu pengen makan apa hari ini?”
Selain karena sekarang ini aku memang sedang lebih ketat dalam memilih makanan, sejujurnya aku juga sudah kehabisan ide tentang menu harian.
Sebetulnya aku dan anakku bukan orang yang terlalu pemilih atau sulit dalam hal makanan. Namun Mamah selalu saja sulit memilih menu.
Aku melihatnya sebagai salah satu cara Mamah menyayangiku dan putri tunggalku. Beliau selalu berusaha memasak sesuai dengan apa yang kami inginkan di hari itu.
“Hari ini Mamah mau masak ayam teriyaki saja, tapi mamah males makan ayamnya jadi nanti banyakin saja bawang bombaynya. Jadi Mamah bisa makan bawang bombaynya.”
Tumben Mamah tidak bertanya pendapatku dulu. Tapi tidak apa, satu hal aku tidak perlu menjawab pertanyaan rutin hari ini. Dan ringan saja aku menyahut,
“Ya udah, ayam teriyaki, Nisa ayamnya, Mamah bawang bombaynya, ntar aku lengkuasnya. Ha... ha... ha..."
Tawa pun mengiring pagi kami. Setelah pembicaraan kecil ini, kami pun memulai aktivitas.
Mamahku ke tukang sayur dekat rumah, aku mulai membuka toko, dan putriku menikmati pagi bersama teman di jalanan depan.
Pembicaraan kecil, singkat, namun menjadi mood booster hari ini. Membuat apapun yang aku lihat hari ini terasa indah. Iya, kami memang sudah memilih untuk bahagia dengan apapun yang ada saat ini.
Ketika banyak orang bahkan mempertanyakan keputusan-keputusanku,
“Kenapa bercerai?”
“Kenapa nggak balikan aja sama suamimu?”
“Kenapa nggak nikah lagi, udah terlalu lama 12 tahun sendiri.”
“Kenapa nggak kerja di kantor lagi?”
“Kenapa... kenapa dan kenapa???”
Aku tetap berjalan dengan keyakinan bahwa hanya akulah yang tau mana yang terbaik untuk diriku. Aku melakukan dengan kesadaran dan bertanggung jawab dengan segala resikonya.
Hanya aku yang tahu kelebihan dan kekuranganku dalam menghadapi perjalanan hidup.
Dan aku rasa tidak perlu menjelaskan pada dunia apa-apa yang aku putuskan dan apa-apa yang telah aku lakukan atas keputusan itu.
Secara jujur, banyak orang yang tidak berani mengambil keputusan karena mereka selalu ingin berada di zona nyaman. Dan lebih lagi, mereka takut dengan kemungkinan yang akan mereka hadapi di luar lingkaran tempat dimana selama ini mereka berada.
Seperti tadi malam, kejadian yang sebetulnya tidak pernah aku pikirkan akan terjadi.
Malam tadi, saat aku sedang mencoba menyelesaikan penulisan bukuku, entah kenapa tiba-tiba saja semua kata menghilang dari kepala.
Semua yang aku tuliskan serasa tidak pas untuk mendarat dengan selamat di layar komputer. Sampai bosan, aku menekan tombol backspace. Akhirnya, aku putuskan untuk berhenti dan keluar dari pagar rumah.
Malam hampir larut dan menjelang tengah. Aku berdiri menatap jalan yang kosong, sepi, temaram lampu di sisi kanan kiri bersatu padu dengan hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan.
Udara yang tenang dan penuh kelembutan sang malam. Lalu sayup-sayup aku mendengar isakan tangis.
Dalam hatiku berpikir,
“Aduh, kayanya malam ini bakalan ketemu mbak kunti lagi.”
Karena memang sudah beberapa kali aku bertemu makhluk yang satu ini. Baik sengaja atau tidak sengaja. Baik jelas ataupun samar.
Aku sudah waspada, kucari dari mana arah suara berasal. Ketika aku berjalan ke arah kanan rumahku dan melewati satu rumah kosong yang sedang dalam proses dibangun.
Sampailah aku ke rumah tetangga yang berjarak satu rumah dengan rumahku.
Aku melihat dari jauh sesosok wanita duduk di depan rumahnya. Agak jauh dari pintu rumahnya dan hampir di tepian jalan.
Aku mengamati dari jauh, mencoba mengenali sosok siapakah itu? Dan ternyata itu memang sosok ibu tetangga yang biasa aku panggil dengan sebutan "tante."
“Tante, sedang apa? Kok di luar?”
Si tante pun terkejut. Mungkin sebetulnya dia sedang mencari ruang untuk dirinya sendiri dan meluapkan segala emosinya. Bertemu dengan aku di tengah malam dalam kondisi seperti ini tentulah bukan yang tante itu harapkan.
Namun sebagai tetangga, tentu saja kami tidak bisa mengabaikan satu sama lain ketika sudah benar-benar bertemu.
“Eh, iya Mbak, di dalam gerah ini jadi cari angin di luar.”
Si tante berdiri dan membuka pintu pagar. Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya.
“Si Om lagi nggak di rumah, Tan?”
Dijawabnya,
“Iya lagi dinas ke Tangerang. Besok pagi dia pulang. Anak-anak juga sudah tidur. Saya nggak nyangka kalau di luar saat malam tuh enak banget ya.”
Sepertinya si tante ingin menyampaikan sesuatu. Suaranya bergetar menahan tangis. Aku memberinya ruang untuk menarik nafas. Aku tidak mengucapkan apapun. Hanya sedikit senyuman.
Beberapa menit berlalu dan kami hanya duduk dalam diam. Akhirnya, aku putuskan untuk memulai sebuah pembicaraan yang tentang diriku sendiri,
“Saya sering merasakan sesaknya hidup. Kita ini kan manusia biasa. Ada saatnya kita rapuh dan jatuh, ada juga saatnya kita merasa baik-baik saja. Ketika saya rapuh, maka saya akan menerima kerapuhan itu dan menunjukkan hanya kepada ALLAH saja.
Malam-malam hening dalam tangis, sudah menjadi bagian saat saya ingin lebih dekat dengan Sang Kuasa dan semesta. Berada di luar rumah saat malam, melihat taburan bintang dengan hembusan angin sering saya lakukan.
Tapi saya rasa bukan hal yang biasa Tante lakukan. Jika berbagi dengan saya bisa membuat Tante lebih baik, saya akan memberikan telinga dan hati saya malam ini untuk Tante.”
Si tante menangkap pesanku dengan sangat baik. Rupanya kata-kataku begitu menyentuh di hatinya. Dan dia mulai menangis dengan deras dan lama.
Aku tidak memeluknya atau merangkulnya. Aku merasa canggung untuk melakukan hal-hal seperti ini. Karena menurut pengalamanku, dipeluk malah membuat kita merasa ingin menangis lebih banyak.
Setelah puas dengan tangisnya, si Tante pun akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata.
“Rasanya jika bukan demi anak-anak saya sudah ingin meninggalkan suami saya”.
Pernyataan si Tante ini tidak membuatku terkejut. Memang masalah besar yang dihadapi seorang wanita yang terikat dalam pernikahan biasanya memang soal suaminya.
Yang membuatku agak kaget adalah, selama ini aku melihat keluarga mereka baik-baik saja. Suaminya seorang yang sangat penyayang pada keluarga.
Seringkali si Tante ini menceritakan kebiasaan suaminya dengan penuh rasa bangga di depan Ibu tetangga yang lain,
“Suami saya sebelum pulang kerja pasti tanya tuh, mamah pengen apa? Dan pasti dibeliiin.”
Atau hal lain ketika aku melihat mereka akan pergi bersama, suaminya dengan penuh perhatian membukakan pintu untuk istrinya.
Hubungan suaminya dengan anak-anak pun kelihatan baik-baik saja.
Sepotong kata yang hampir tidak terdengar keluar dari mulutku,
“Kenapa, Tan?”
Si tante kelihatan sangat gelisah untuk membagi ceritanya.
“Suami saya memiliki kelainan dengan hasrat berlebihan.” Selesai mengatakan ini, tangisnya langsung meledak. Sekali lagi aku biarkan si Tante menangis sampai puas. Lalu dia melanjutkan ceritanya,
“Suami saya tidak mau mengerti apakah saya sedang dalam mood atau tidak, apakah saya siap atau tidak bahkan tidak mau tahu ketika saya datang bulan. Dia hanya memberi saya libur tiga hari ketika saya datang bulan.”
Si Tante melanjutkan tidak lagi dengan tangisan, namun dengan nada marah dan emosi,
“Dia bahkan tidak peduli ketika saya sedang memasak, melakukan pekerjaan lain. Dia akan meminta saya stop dan masuk ke kamar jika hasratnya sedang datang. Jika dia libur maka bisa tiga atau empat kali dalam sehari. Jika saya tidak bersedia pun dia akan tetap memaksa tanpa peduli keadaan saya.
Dia bilang, kamu hak saya, dan saya tidak butuh perasaanmu, aku hanya butuh tubuhmu. Daripada aku mencari wanita lain di luar sana. Lebih baik kamu melayaniku dengan baik.”
Aku menghela nafas panjang...
Ya ALLAH... Kenapa harus malam ini aku mendengar semuanya. Aku sedang mencari ide untuk tulisanku dan kejadian ini yang aku dapat.
Mungkinkah besok aku akan menulis tentang ini? (Dan akhirnya saya memang menulis tentang ini)
Aku mencoba melihat dari sisi lain, ini mungkin salah satu yang disebut dengan penyakit kejiwaan.
“Coba ajak bicara, Tan, dan jika memungkinkan bisa diajak ke psikiater untuk menyelesaikan masalah.”
Si Tante melihatku,
“Saya juga bukan orang bodoh, saya tahu itu kelainan. Saya sudah meminta padanya untuk konsultasi tapi dia menolak dan menurut dia, itu bukan sebuah masalah.”
Aku menelan ludah. Sungguh masalah yang aku tidak punya ide apa yang harus kukatakan,
“Lalu bagaimana, Tan?”
Si Tante pun sama seperti sudah kehabisan kata-kata.
“Dulu dengan tabiatnya yang seperti ini saya masih bisa bertahan. Saya muda dan penuh energi. Tapi sekarang setelah 17 tahun pernikahan kami. Saya sudah mulai tua, beberapa tahun terakhir ini begitu menyiksa buat saya. Saya serasa hidup di dalam neraka. Saya merasa diperlakukan tidak terhormat oleh suami saya sendiri. Jika saya melepaskan diri darinya, lalu bagaimana anak-anak. Menjadi janda di usia saya yang sudah hampir empat puluh lima tahun. Apa yang bisa saya lakukan. Saya tidak punya pendidikan cukup dan saya terbiasa hidup bergantung pada suami.”
Aku semakin kehabisan kata-kata untuk menyertai si Tante.
Karena memang apapun yang aku sarankan belum tentu akan membuat si Tante merasa nyaman. Semuanya kembali kepada si Tante, mana yang ingin dijalani.
Banyak wanita-wanita yang hidup seolah mereka tidak memiliki pilihan selain menjalani dan berharap keadaan akan membaik pada akhirnya.
Tapi menurutku, kita semua punya pilihan. Mana yang akhirnya kita jalani itu tergantung seberapa berani kita mengambil tanggung jawab atas pilihan itu.
Si Tante secara keuangan pastilah dia bahagia, tidak kekurangan. Secara status lengkap, memiliki suami yang penyayang dan rumah tangga yang kelihatan bahagia. Resiko yang dia ambil adalah memaksa hati dan batinnya untuk mengikuti perilaku menyimpang dari suaminya.
Jika si Tante memilih berpisah, maka dia akan membebaskan hati, jiwa, dan perlahan menemukan kebahagiaan sejati dalam dirinya. Resikonya dia menjadi tidak punya suami dan harus mandiri secara apapun juga.
Aku pernah ada si persimpangan itu dua belas tahun lalu. Meskipun dengan jenis masalah yang berbeda. Namun dalam kondisi yang sama, keadaan memintaku untuk berani mengambil sebuah langkah dan pilihan.
Dan aku telah memilih jalanku hari ini. Aku bahagia dengan segala resiko atas pilihan itu.
Hari ini candaan tentang Ayam Teriyaki bersama Mamah dan putriku pun sudah cukup membuat bahagia dan menjadi mood booster pagi.
Hal yang berbeda tentu dengan apa yang mungkin dipikirkan oleh si Tante. Jangankan sekedar pembicaraan Ayam Teriyaki, "warkop DKI" pun mungkin akan sulit membuatnya tersenyum.
Kebahagiaan yang hadir karena pilihan di masa lalu. Sesulit apapun jalan yang harus dilewati pada masa itu. Nyatanya semua kehidupan ini selalu ada saja yang harus kita tanggung sebagai bentuk keinginan kita.
Bahkan jika kita tidak memilih pun takdir akan memilihkan untuk kita. Sebagai manusia biasa, berpikir dengan sederhana saja untuk membuat jiwa tetap bisa bernafas dengan lega.
Percaya saja bahwa hidup selalu menemukan jalan terbaiknya.

Salam sayang
Ans


Berbeda Untuk Bersama

Gambar dibuat dengan AI generate

Tomi berlari dari ruang HRD dan memelukku, di depan semua orang. Aku pun sebenarnya malu dan bingung dengan apa yang terjadi.

“Sekarang aku siap menikahimu!”

Dengan teriakan kencang berlogat Batak, Tomi mengatakan di depan semua orang, yang kemudian disambut oleh tepuk tangan. Meskipun aku bingung, namun bukan waktu tepat untuk bertanya di tengah semua orang. Aku hanya senyum–senyum, tanpa aku tahu kenapa aku harus tersenyum.

Tomi kembali memelukku dengan erat. Ya sudahlah aku pasrah, aku juga tidak mau Tomi malu di depan teman–temannya. Sampai tiba waktu makan siang. Kami biasanya makan bersama di food court gedung kantor. Tapi kali ini sepuluh menit sebelum waktu keluar, aku menuju meja Tomi dan menyeretnya ke salah satu restoran mahal di lantai dua gedung itu.

“Coba bilang, kenapa kamu tadi berperilaku seperti itu?”
“Yang mana bah?”
“Memelukku dan bilang akan menikahiku. Kamu bikin aku bingung.”
“Ya memang aku akan menikahimu.”
“Pikiran gila dari mana sih? Selama ini kita kan Cuma berteman saja.”
“Memangnya orang nikah harus dimulai dari pacaran?”

Logat Batak bercampur senyuman tersaji sebagai pembuka makan siang kami. Aku memsan sup sebagai menu pembuka dan steak super tenderloin sebagai menu utama untuk kami berdua.

“Ya setidaknya kamu bicara pribadi denganku, jangan di depan semua orang begitu.”
“Bah, ya maaflah. Aku terlalu bahagia, aku baru saja naik jabatan jadi supervisor.”
“Terus hubungannya apa dengan menikah?”
“Kita kan sudah lama berteman, dan aku suka kali padamu. Cuma karena gajiku selama ini terlalu kecil, aku tidak yakin bisa membahagiakanmu. Nah sekarang gajiku tiga kali lipat dari yang kemarin. Aku siap jadi suamimu.”

Sambil memasukkan satu per satu sup ke mulutku, aku mendengar Tomi berbicara dan terpukau sampai tidak mampu menjawabnya.

“Gini ya Tom, meskipun usia kita sama tapi pengalaman kita berbeda.”
“Aku tahulah , kau udah cerita pula padaku tentang pernikahanmu yang dulu.”
“Nah itu, ketika kamu jadi suamiku maka kamu juga menjadi ayah putriku.”
“Ya pastilah itu. Tak apa, aku senang saja. Eh nanti kita bikin adek yang banyak buat dia ya.”

Tatapan menggoda seiring nada Batak di depanku. Aku terlanjur nyaman dengan Tomi sebagai teman. Meskipun dia memamerkan sejuta pesona, tapi tidak membuatku bergetar sedikit pun.

“Tom, rumah tangga itu bukan hanya soal pria wanita, cinta dan sayang. Tapi ada juga unsur pengertian dan agama didalamnya.”
“Bah, aku sudah mengertimu lebih dari cukup. Kamu yang aku mau. Dan soal agama kita atur sajalah itu.”
“Atur saja gimana?”

Aku menghabiskan sisa supku dan beralih ke daging steak di hot plate yang kelihatannya menggairahkan. Sambil mendengarkan Tomi memberikan jawaban. Apakah agama menjadi satu hal yang selama ini ada juga dalam pertimbangan Tomi. Karena agamaku dan agama Tomi memang berbeda.

“Kau bisa tetap dengan agama kau dan aku dengan agama aku.”
“Anak – anak?”
“Biarlah nanti mereka memilih ketika mereka mulai dewasa.”
“Lalu di dalam rumah apa yang akan kita ajarkan?”
“Ya kita ajarkan keduanya.”
“Maksudmu, Kalau mau makan baca dua doa, Mau tidur baca dua doa, Begitu?”

Tomi terdiam meletakkan pisau steaknya dan menopang dagu di tangan.

“Iya juga ya.”
“Hmmm kan kamu pikir pernikahan semudah itu.”
“Cemana pula solusinya?”
“Ngapain capek – capek mikirin solusi, aku juga belum tentu mau sama kamu. Aku menganggapmu selama ini sebagai teman saja. Bisa seru dan bertukar pikiran. Aku nggak bisa bayangin tidur sekamar sama kamu.”

Aku mengatakan sambil tertawa dan menikmati irisan daging yang telah kupotong kecil – kecil.

“Tapi aku setiap malam membayangkan kamu di kamarku.”
Tomi mengatakan dengan nada serius yang membuat mataku melotot ke arahnya.

“Ngapain kamu ngebayangin aku?”
“Ya karena aku suka kamulah, sejak awal aku sudah jatuh cinta padamu. Kamunya saja yang terlalu sibuk sama pekerjaan sampai aku pun tidak terlihat diantara tumpukan kertasmu itu.”
“Benarkah?”
“Iyalah, ngapain pula aku bohong sama kamu. Kamu pikir siapa yang setiap kali menaruh coklat dan sebatang mawar di mejamu setiap awal bulan?”
“Itu kamu?”
“Lalu siapa pula yang memesan kopi untukmu menjelang sore?”
“Aku pikir itu bagian dari service kantor.”
“Bah bodoh kali lah kau ini, nampaknya kau karyawan lain dapat hal yang sama?”

“Hmmm iya sih nggak juga, tapi aku baru ngeh sekarang.”
“Nah itulah kau, sibuk saja dengan pekerjaanmu.”
“Ya Tom, aku butuh karir yang settle down untuk masa depan anakku.”
“Ya aku tahulah itu, tak usahlah kau pikirkan masa depan dan membebanimu seperti itu. Esok punya nanti, nikmati saja hari ini.”
“Tom, tapi kenapa coklat dan mawarnya cuma ada setiap awal bulan?”
“Hey nona, apa yang ada di kepalamu? Itu coklat mahal tau. Aku memesannya special dari toko coklat di Belgia lewat online. Karena aku tahu lah kau ini macam Tupai suka kali makan coklat.”
“Ha…ha…ha… iya betul…betul… Ih kamu ternyata benar – benar perhatian sama aku.”
“Iyalah, nah sekarang kutanya lagi kau. Mau nggak kau jadi istriku?”

Ku alihkan pandangan mataku ke atas. Lalu kumasukkan potongan daging terakhir ke dalam mulutku. Setelahnya kubersihkan sisa – sisa yang menempel di sekitar bibirku. Dan kubiarkan Tomi menunggu agak lama dengan semua kegiatan itu.

“Hmmm… nggak. Aku nggak mu jadi istrimu. Nggak kebayang dan ibuku pasti menolakmu juga. Meskipun kami bukan keluarga yang religius tapi salah satu syarat untuk bersama adalah satu keyakinan. Dan sebaiknya kamu menetapkan syarat yang sama untuk dirimu.”
“Ahh kau…. Ya sudahlah tapi aku nggak akan berhenti kirim kau coklat dan kopi. Sampai nanti ada gadis cantik baru yang akan kukirimi menggantikanmu.”

Aku tertawa sambil berdiri. Tomi berdiri merapat ke arahku.

“Eh kenapa pula kau ajak aku makan ke tempat mahal ini, siapa yang mau bayar nih?”
“Ya kamulah, masa aku. Kan sekarang gajimu banyak.”
“Bah aku baru diangkat tadi siang, mana ada lagi gaji datang.”
“Terserah deh…..”

Aku mengambil ponselku dari meja dan berlalu mendahului Tomi yang masih sibuk mencari kartu kredit di dompetnya.

Dengan segala perbedaan yang ada, aku dan Tomi tetap menjadi sahabat sampai saat ini. Dan beberapa bulan kemudian akhirnya coklat dan kopi itu tidak lagi datang ke mejaku. Tomi pindah tugas ke daerah asalnya di Sumatera. Sesekali kami bertukar kabar lewat pesan. Sampai suatu hari sebuah surat undangan berwarna merah emas datang ke mejaku. Akhirnya Tomi menemukan gadis yang dia cari. Dan aku bahagia untuk sahabatku itu.

Salam sayang Ans

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/