Tuesday, November 16, 2021

Kata Dan Rasa






Memang negara ini adalah negara Timur Tengah dengan rasa Eropa.
Sebetulnya, sebuah hubungan pernikahan memang tidak selalu bisa dinilai berdasarkan kepercayaan. Ternyata, apapun yang kita yakini, semua kembali kepada komitmen kita sendiri. Begitulah kesimpulan yang aku ambil dari pertemuanku dengan Samir.
Pria asal Turki dengan usia yang cukup matang. Empat puluh tahun. Turki, negara besar dan makmur. Hampir tidak ada kesulitan yang berarti bagi setiap individu disana. Aku bahkan pernah mendengar, kucing kelaparan pun tidak bisa ditemui di negara ini.
Dua tahun lalu, Samir terikat dalam sebuah pernikahan. Pernikahan yang dibangunnya dengan susah payah. Mereka menikah karena cinta. Di usia pernikahan yang ke lima belas tahun, hubungan mereka pun berakhir.
Kebanyakan pria di online dating akan melemparkan semua kesalahan akan kegagalan pernikahan pada mantan istrinya. Dengan apapun alasannya. Namun yang satu ini berbeda. Patut dihargai kejujurannya.
Kami bertemu di situs kencan online. Setelah beberapa waktu ber-chat ria untuk memperkenalkan diri, kami pun masuk pada pembicaraan yang lebih dalam.
“Samir, kenapa kamu ada di online dating?”
“Karena aku kesepian.”
“Di usiamu, aku rasa kamu bukan seorang single.”
“Iya, aku pernah menikah dan memiliki tiga putri. Namun itu sudah berakhir dua tahun lalu.”
“Hmmm… boleh aku tahu alasannya?”
“Karena aku mengakhianati hubungan kami. Aku terlibat perselingkuhan.”
“Okay, dengan siapa?”
“Beberapa wanita.”
Penjelasan yang entah bagaimana berhasil membuatku tertawa. Bukan isi dari chat kami yang membuatku tertawa. Aku tertawa karena kepolosannya.
Bukankah kami masuk ke online dating untuk membangun sebuah hubungan baru? Lantas, bagaimana dengan sangat percaya diri dia menyampaikan padaku bahwa dia berselingkuh dengan beberapa wanita? Apa yang dia pikirkan? Tapi baiklah, aku sangat – sangat menghargai kejujurannya.
“Hmm… iya jelas bagiku alasan perceraianmu. Namun apa alasannya kamu berlaku curang pada istrimu?”
“Aku butuh kebahagiaan hubungan dengan seorang wanita.”
“Maksudnya? Apakah kamu menikah dengan istrimu karena cinta?”
“Iya, kami menikah karena cinta. Namun setelah putri kami yang ketiga lahir, cinta itu serasa sirna.”
“Apa yang terjadi?”
“Istriku terlalu sibuk mengurus anak – anak dan lupa mengurus dirinya.”
“Bukankah mereka anak – anakmu? Tidak pantas kamu cemburu.”
“Betul, tapi jangan lupa. Aku adalah seorang pria. Dan keuanganku sangat mapan. Aku punya tuntutan akan penampilan seorang wanita.”
“Berikan istrimu pembantu dan biarkan dia menjadi cantik kembali.”
“Di rumah kami punya tiga pembantu, namun entah apa yang terjadi tetap saja dia tidak sesuai harapanku.”
“Hmm… lantas kenapa kamu berselingkuh dengan lebih dari satu wanita?”
“Wanita cantik itu menyenangkan, namun tanpa cinta dalam beberapa saat semua terasa membosankan.”
Jawaban yang sebetulnya membuatku ingin menuangkan segelas kopi di kepalanya. Namun apa hendak dikata, kami hanya berbicara via online saja. Sungguh patut dipertanyakan sebetulnya, jenis pria apa Samir ini.
Dia berkelana di dunia maya juga di dunia nyata. Dia menginginkan wanita cantik namun juga ingin cinta. Ketika dia mendapatkan cinta dia juga ingin tuntutan yang lainnya.
Pembicaranku dengan Samir berlangsung selama hampir lima bulan. Kami jarang berbicara tentang masa depan. Nampaknya Samir tidak tertarik untuk pergi ke masa depan bersamaku. Namun dia banyak menceritakan tentang masa lalu dan kegagalan pernikahannya. Dia butuh tempat untuk mencurahkan isi hatinya.
Dalam beberapa kali video call dia menunjukkan rumah dan pekerjaannya. Seorang pemilik ladang perkebunan yang cukup besar dengan beberapa jenis peternakan. Namun hidupnya selalu merasa sendirian. Wanita – wanita cantik datang dan pergi dalam kehidupannya yang nyata. Dan tidak satu pun yang diminta untuk menetap dalam pernikahan. Alasan yang sebenarnya menggelitikku.
Kenapa Samir tidak menikah lagi dengan hidupnya yang mapan?
“Samir, kamu ingin menikah lagi?”
“Entahlah, mungkin suatu hari jika aku bertemu wanita yang bisa menyentuh hatiku.”
“Wanita seperti apa yang akan berhasil menyentuh hatimu?”
“Wanita cerdas, cantik dan bisa mengikatku.”
“Mengikatmu? Apa maksudnya?”
“Aku sadar siapa diriku. Aku pria yang mudah bosan dan cenderung tidak memiliki kesetiaan. Aku ingin wanita yang bisa membuatku bertekuk lutut setiap hari di hadapannya.”
“Wanita jenis apa yang seperti itu?”
“Aku juga tidak tahu, hanya yang aku tahu wanita itu membuatku tidak pernah bisa berpaling darinya.”
Pembicaraan yang tidak terbayang di kepalaku. Bagaimana Samir akan menemukan wanita itu suatu hari nanti. Menurut Samir ini salah satu alasan dia 'pecicilan' di online dating. Dia ingin melihat wanita itu secara murni dari kata – katanya. Dan dia pun ingin dilihat wanita itu secara murni sebagai dirinya yang tidak pernah bisa setia.
Bagiku memang Samir bukan pria ideal untuk menjadi pasangan. Namun Samir adalah pria yang dapat melihat dengan jelas siapa dirinya dan siapa yang diinginkannya. Mengakui kelemahan dan juga kelebihannya. Seringkali seorang pria terkurung dalam arogansi diri. Menganggap diri paling hebat dan selalu menemukan alasan untuk menutup setiap kesalahan. Samir berbeda, dia tahu apa yang dibutuhkannya.
Sampai saat ini kami masih berteman. Sesekali memberi semangat dan bertegur sapa sebagai sahabat. Kami tidak lagi terlibat pembicaraan dengan topik – topik yang berat. Aku masih ingat di bulan lalu ketika Samir tiba – tiba datang padaku.
Dia menyampaikan permintaan yang membuatku sedikit terkejut.
“Maukah kamu pindah ke negaraku dan jadi bagian dari hidupku?”
“Tunggu …. dengan pengakuanmu yang panjang itu, apakah menurutmu aku akan bersedia?”
“Mungkin saja, setidaknya kamu tahu aku pria yang jujur.”
“Kenapa kamu memintaku menjadi bagian dirimu?”
“Karena kamu bisa mengerti aku dari caramu berbicara.”
“Bagaimana kamu tahu? Bukankah kata dan kamera bisa membohongimu?”
“Mungkin, tapi aku juga memilihmu dengan hati. Dan hati tidak akan berdusta.”
“Apa jaminanmu bahwa aku akan bahagia?”
“Tergantung kebahagiaan apa yang kamu inginkan. Jika kamu bahagia dengan uang maka aku punya lebih dari cukup untuk membahagiakanmu. Namun jika kamu menuntut kesetiaan, itu yang aku tidak punya.”
Rasanya aku ingin berguling – guling di tengah lautan membaca chat kami malam itu. Mungkin ada wanita di luar sana yang bahagia dengan limpahan uang. Namun hidup bagiku bukan hanya tentang apa yang kita miliki. Hidup juga tentang apa yang aku inginkan di masa depan. Dan tidak semua keinginanku ada hubungannya dengan uang.
Cinta dan uang memang bukan segalanya. Setelah kegagalan pernikahanku tiga belas lalu, aku percaya bahwa hubungan adalah tentang komitmen. Dan komitmen selalu tentang kesetiaan dan penerimaan. Dalam jatuh bangunnya, dalam baik buruknya, dalam susah senangnya.
Samir memilih dan menilaiku karena kesopanan dan penerimaanku atas pengakuannya. Aku selalu membuat dia merasa nyaman untuk mencurahkan segala isi hatinya. Tanpa menilai atau menghakimi.
Mungkin Samir lupa bahwa aku adalah seorang penulis. Mengaduk – aduk hati dan perasaan dengan kata adalah keahlianku. Samir melihat barisan kata, dan dia lupa ada jiwa di balik kata yang bekerja sendiri dengan pikirannya.




 

Pria Pun Bisa Terluka

 




Kulitnya yang putih juga mata sipit itu, membuatku percaya sekali pandang bahwa dia adalah pria Jepang. Namun, setelah kami berbicara, ternyata dia adalah pria eropa. Seorang pria Jerman yang menetap di Jepang. Sesuai dengan profil yang aku baca di website online dating. Usianya empat puluh lima tahun. Entah kenapa akhir – akhir ini banyak ketemui pria dengan usia yang cukup matang masuk ke situs online dating.

Pria – pria yang sebenarnya secara perjalanan dan angka harusnya sudah settle down. Memiliki keluarga, dan nyaman dengan hidupnya. Apakah jaman ini telah begitu berubah sehingga usia benar – benar hanya sekedar angka?

Kali ini aku orang pertama yang menyapanya. Karena aku jarang sekali online di situs ini. Namun ketika sebuah pesan darinya kutemukan maka dengan segera aku menyapanya. Di situs ini kami tidak perlu membuang waktu untuk perkenalan dan lain sebagainya. Karena semua sudah tersedia lengkap di profile kami masing – masing.

Setelah beberapa hari berbicara, aku mulai untuk mencari tahu siapa sesungguhnya pria ini. Memang di online dating tidak semua bisa kita percayai. Namun tidak ada cara lain yang bisa digunakan selain percaya dengan kata. Dan kata akan membuktikan juga kebenarannya meskipun kadang butuh waktu agak lama.

Yang mengherankan bagiku adalah pria satu ini hampir tidak punya selera humor. Apapun jenis obrolan yang aku sampaikan selalu disikapi dengan sangat serius. Dan suatu hari kesempatan untuk mencari tahu itu tiba.

“Apakah kamu bisa tersenyum atau tertawa?”

“Mungkin.”

“Ha.. ha.. ha… Bukankah Tuhan menciptakan kita begitu sempurna dengan senyum dan tawa juga?”

“Aku bahkan sudah lupa seperti apa rasanya bahagia.”

“Hmm… kamu bisa berbagi denganku perasaanmu jika kamu mau.”

“Apakah itu bisa membuatku merasa baik?”

“Biasanya begitu.”

“Aku merasa dunia selalu penuh dengan dusta.”

“Kenapa?”

“Aku pernah mencintai seorang wanita, dia mantan istriku. Aku mencintainya dengan jiwa dan raga. Meskipun sepuluh tahun pernikahan kami tidak memiliki anak. Namun itu tidak masalah bagiku. Bagiku yang terpenting adalah hubungan kami. Cintaku padanya dan cintanya padaku. Aku bahkan tidak pernah mencari tahu, ketidak hadiran anak karena masalah padaku atau padanya. Aku percaya saja memang belum waktunya Tuhan mengirimkan dia untukku.”

“Hmmm…”

“Aku hanya tahu aku mencintainya. Apapun yang bisa kuberikan maka akan kuberikan padanya.”

“Hal baik menurutku.”

“Namun tidak sebaik apa yang terjadi lima tahun lalu.”

“Kenapa?”

“Ketika aku kembali dari kantor lebih cepat hari itu, aku menemukan pria lain di ranjangku.”

“Hmm… lalu?”

“Aku marah dan kecewa, aku tinggalkan dia saat itu juga. Setelah beberapa bulan aku kembali untuk mengurus semua asetku di rumah kami.”

“Lalu?”

“Ternyata aku tidak memiliki hak apapun atas aset itu. Saat pernikahan semua aset atas nama istriku. Dia meminta setiap kali kami melakukan pembelian aset maka akan di atas namakan dirinya dan aku berikan. Aku percaya padanya.”

“Oh… Tidak ada yang bisa dilakukan?”

“Bisa, aku bisa saja menuntut secara hukum sebagai harta bersama. Namun aku sudah terlanjur kecewa dan jatuh dalam kehancuranku. Aku tinggalkan semuanya. Dia, asetku, keluargaku bahkan negaraku. Aku memulai lagi hidupku dari nol di Jepang.”

“Dan harusnya kamu bangga karena kamu berhasil berdiri kembali.”

“Iya, tapi di dalam diri dan hatiku sesungguhnya aku sudah kosong tanpa isi.”

“Isilah dirimu dengan cinta yang baru.”

“Terlambat, semua rasa itu telah mati sejak saat itu.”

Ali berhenti mencinta. Namun entah kenapa dia ada di online dating dan bertemu diriku. Mungkin karena hasratnya semata sebagai pria. Memang hal yang tidak bisa diingkari di masa ini. Banyak orang menyalurkan hasrat diri cukup dengan sesuatu yang berbau online saja. Kenyataan yang agak gila namun begitulah realita.

Dan sebuah kejutan Ali bertemu denganku. Aku datang ke online dating bukan untuk kencan. Apalagi memuaskan hasrat. Aku datang untuk sebuah hubungan. Aku masuk kedalamnya dan mengenal orang – orang baru untuk mendengar lebih banyak cerita. Cerita tentang luka, cerita tentang duka, dan cerita tentang kesedihan. Beberapa orang akhirnya menjadi teman hingga sekarang. Kami sering bertukar pikiran dan berbagi cerita. Namun cukup banyak juga yang menjadi musuh dan saling menjauh.

Cerita Ali mengalir deras saat dia mulai nyaman berbicara denganku. Sungguh sebagai wanita aku pun tidak tahu harus menanggapi apa. Tidak terbayang ada juga ternyata wanita yang tidak punya cukup hati untuk melukai pria yang pernah mencintainya. Mungkin karena hadirnya cinta lain yang membuatnya merasa nyaman. Namun tentu saja penilaian tidak bisa mutlak diberikan. Karena aku hanya mendengar cerita. Aku hanya menyediakan kuping saja. Namun realita di balik cerita hanya Ali dan istrinya yang tahu.

Dan di luar pemikiranku selama ini, bahwa ternyata trauma seorang pria bahkan bisa lebih dalam. Ketika mereka memberikan cinta namun mereka malah mendapatkan luka. Ali di usianya yang tidak lagi muda bahkan memutuskan untuk sendiri sampai akhir.

“Ali, bukankah hidup ini memang seperti itu? Kadang kita dilukai dan bisa jadi tanpa kita sadari kita juga pernah melukai.”

“Betul, namun luka itu terasa begitu dalam. Ketika kamu mencintai seseorang dengan hatimu yang terdalam. Dan celakanya aku kehilangan kepercayaan. Pada semua wanita tanpa terkecuali.”

“Termasuk padaku?”

“Ha… ha…ha… mungkin. Aku cukup nyaman berbagi denganmu tapi untuk menjalin cinta, rasanya aku hanya akan melukaimu saja nantinya.”

“Dan tidak semua ada dalam kendali kita Ali. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain. Namun kita bisa mengendalikan perasaan kita sendiri.”

“Iya, kamu benar. Kamu wanita yang cerdas. Kamu menyimpulkan kehidupan dengan begitu tajam. Karena aku tahu aku tidak bisa mengendalikan siapa pun, makanya aku memutuskan untuk mengendalikan diriku sendiri.”

“Dengan tidak menikah?”

“Dengan tidak mencintai. Aku terhindar dari resiko akan sakit hati. Cara yang nyaman dan aman.”

“Namun kekosongan hati tidak bisa berdusta Ali.”

“Aku bisa bersama wanita selama yang aku mau. Dan berhenti jika aku telah merasa bosan. Aku bisa mendapatkan cinta tanpa perlu ikatan.”

Rasanya tidak perlu lagi kulanjutkan chat-ku dengan Ali. Karena dia adalah pria dewasa yang telah memilih jalannya sendiri. Ali tahu kekuatan dan keinginan dalam dirinya. Karena setiap kehidupan adalah tentang apa – apa yang kita ingin jalani.

Selama setahun aku berpetualang di online dating. Ada saja pria yang bisa aku ajak berbicara. Ali salah satunya. Namun aku pun manusia biasa. Aku bukan hanya ingin melihat luka. Jika aku bisa, aku menyiapkan telinga dan mendengar mereka menyampaikan kegundahannya. Mereka dapat ringan dari dukanya dan aku mendapat sebuah pelajaran yang dapat kutuliskan sebagai kesan untuk yang lainnya.

Menua Bersama



Online Dating memang penuh warna.

Satu kali dua puluh empat jam pun kadang rasanya masih kurang. Untuk seorang single mom dengan jejalan kegiatan yang harus dilakukan. Namun entah kenapa ada saja alasan untuk masuk ke online dating.

Ingin bertemu pasangan? Mungkin bukan itu alasan sesungguhnya. Masuk ke online dating artinya bertemu dengan orang – orang baru tanpa harus bertatap muka. Jika suka, maka bisa berbicara lebih, dan tidak jarang menjadi teman. Begitupun sebaliknya, jika tidak sesuai keinginan, maka dalam hitungan menit pun sudah menjadi musuh.

Ketika aku bertemu dengan Ezy, memang sejak awal dia sudah mengatakan ingin mencari pasangan. Seorang istri untuk menempati ruang di hatinya yang telah sepi sejak enam tahun lalu. Pernikahannya telah berakhir di meja pengadilan. Butuh waktu bagi Ezy untuk menerima wanita baru. Dan menurutnya online dating adalah tempat yang tepat. Mengenal seseorang dari angka nol.

Aku setuju dengan pendapat itu. Tapi mengenal seseorang dari online dating memang seperti bermain roller coaster. Sedikit saja lolos pandangan maka keselamatan menjadi taruhan.

Pembicaraanku dengan Ezy awalnya menyenangkan. Usia kami yang boleh dibilang seimbang, memudahkan kami dalam pemahaman. Sejak awal sudah aku sampaikan bahwa tujuan kita berbeda. Dia datang dengan asa akan cinta dan aku….. aku di online dating sebetulnya mencari inspirasi dan wacana saja.

Namun demikian alasanku tidak membuat Ezy mundur. Dia sudah terlanjur jatuh cinta padaku, katanya. Jatuh cinta dengan kata dan sikapku. Kami beberapa kali video call dan chat. Pembicaraan kami tidak jauh – jauh dari seputar cinta, masa depan, dan sebuah hubungan.

Pembicaraan awal yang sebenarnya menyenangkan, namun perlahan tapi pasti malah jadi menyesakkan. Jika aku terlihat online namun tidak menjawab pesannya, maka dia akan langsung murka dan memberikan kata – kata yang tidak enak dibaca. Dan ketika kami ber-video call lalu aku yang meminta mengakhiri karena sudah cukup lama, maka itu juga bisa membuat dia berburuk sangka.

Aku ikuti alur permainannya, bukan karena aku mengharapkan dia. Namun aku sedang mempelajari pria seperti apa Ezy sesungguhnya. Sampai suatu hari waktu yang tepat pun datang, ketika dia secara resmi memintaku untuk ‘membuka pintu’ atas kehadirannya.

“Aku akan datang ke Indonesia.”

“Oh, bagus, untuk apa?”

“Meminangmu.”

“Bukankah kita tidak dalam sebuah ikatan?”

“Kita cukup dewasa untuk tidak perlu sebuah ikatan awal.”

“Maksudmu?”

“Seorang pria tidak perlu memberikan kata, cukup menyajikan bukti untuk bisa dipahami.”

“Tapi aku mungkin akan menolakmu.”

“Mengapa? Pembicaraan kita selama ini terlihat baik dan menyenangkan.”

“Baik dan menyenangkan adalah karakterku pada semua orang. Yang baik dan sopan. Namun bukan berarti aku memberikan harapan pada siapapun yang datang.”

“Apa kurangnya diriku?”

“Tidak ada bagi mereka yang bisa menerimamu.”

“Aku tidak ingin yang lain menerimaku, aku ingin kamu.”

“Hubungan kita di chat dan video call saja bagiku terasa menyesakkan.”

“Maksudmu dengan kata – kataku?”

“Ya, kamu berusaha menguasai dan mengendalikanku.”

“Bukankah itu bukti cinta?”

“Cinta punya alasan untuk memberi ruang bahagia. Bukan mendekap sampai tidak bisa bernafas.”

“Ya, aku tidak ingin masa laluku terulang lagi.”

“Masa lalu yang mana?”

“Pengkhianatan mantan istriku dengan pria lain.”

“Hmm… apa yang kamu pikirkan tentangku sebagai wanita yang kamu harapkan?”

“Aku ingin duniamu hanyalah tentangku.”

Bincang panjang yang sebenarnya sejak awal telah bisa kubaca. Ezy belum selesai dengan masa lalunya. Sebaris trauma masih tersisa di hatinya akan masa lalu. Pengkhianatan yang dilakukan wanita ternyata menyisakan tembok tinggi di hatinya.

Bertemu seorang wanita lewat online dating dan hanya dengan beberapa kali berbicara kemudian ingin menikah juga sebuah tanda tanya besar. Alasan yang paling mudah memang cinta. Karena hanya cinta satu – satunya alasan yang boleh dibilang tidak masuk akal. Namun Ezy malah bertemu denganku, wanita yang tidak pernah percaya dengan cinta pada pandangan pertama.

Aku wanita yang selalu percaya cinta hanya akan terbit di akhir cerita. Setelah banyaknya waktu bersama dalam sebuah cerita maka disitulah cinta akan menemukan sukmanya. Beberapa waktu berlalu dari pembicaraan kami yang terakhir. Kami tetap berbicara segala hal dan kemungkinan akan masa depan.

Sejujurnya pembicaraan yang membuatku agak sedikit bosan. Tiga puluh tujuh tahun umurku dan hampir tiga belas tahun diantaranya kulalui sebagai single mom. Membuatku belajar bahwa hidup yang nyata adalah tentang hari ini. Deretan rencana akan masa depan seringkali hanya akan berakhir sebagai beban. Yang kadang membuat harapan dan tidak jarang menyakitkan.

Begitu juga yang Ezy ceritakan padaku. Ketika dia meninggalkan negaranya India untuk mengambil sebuah pekerjaan di Arab. Dia meninggalkan anak dan istrinya. Dengan sebuah tujuan, menghasilkan lebih banyak uang untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. Namun masa depan selalu tinggal harapan. Ketika akhirnya Ezy berhadapan dengan kenyataan bahwa istrinya tidaklah sekuat yang dia inginkan.

Kesepian dan kerinduan membuat istrinya memilih cara lain untuk bertahan. Cara yang akhirnya menghancurkan anyaman mimpi rumah tangga mereka. Pria lain yang dianggap lebih mampu memenuhi harapan dan keinginan sang istri. Keputusan perpisahan yang diminta begitu menghancurkan perasaan Ezy. Sedih, marah, kecewa sampai membuatnya trauma untuk memiliki hubungan baru dengan wanita lain di dunia nyata.

Ezy berlelah – lelah pergi ke dunia maya untuk berusaha menemukan setumpuk cinta dari dunia yang tidak dikenalnya. Beberapa wanita pernah diajaknya berbicara. Namun entah dengan alat ukur jenis apa, sebelum menutup akunnya secara permanen Ezy memilihku.

Aku pun ingin tidak mengecewakan mimpi dan harapannya. Namun aku wanita yang juga ingin bahagia. Tidak terbayang bagiku, tinggal dengan pria yang setiap hari selalu terselimuti curiga. Bagaimana kami akan bernafas dengan bayangan masa lalu tentang sebuah pengkhianatan. Yang terbaik bagi kami saat ini adalah hubungan teman.

Aku mempersilahkan jika Ezy memang ingin datang. Namun aku sampaikan, bahwa aku tidak bisa menjanjikan apapun. Jangankan cinta, seutas harapan bersama pun saat ini tidak ada di kepalaku. Aku persilahkan Ezy menjadi bagian dari perjalanan akan kehidupan. Untuk belajar bertumbuh bersama sebagai teman. Bukan menua bersama dalam cinta.

Kegagalanku atau pun kejatuhannya lebih dari cukup bagi kami berdua untuk belajar. Bahwa masa depan memang hanya sebuah harapan. Dan bahwa cinta hanyalah tentang kata. Yang nyata adalah diri kita hari ini, apa yang bisa kita lakukan saat ini. Baik dalam hubungan maupun keinginan. Hidup seharusnya tidak menjadi beban, jika kita tahu bahwa setiap langkah memiliki waktunya sendiri untuk berpindah.

Hidup ini selalu tentang pilihan. Dan setiap pilihan pasti membawa tanggung jawabnya sendiri untuk diambil dan dinikmati. Kedewasaan bukan hanya tentang usia namun tentang berapa banyak kita berhasil mengambil makna dari waktu yang berlalu.

Pria Yang Selesai

 


Beberapa gambar dikirimkan. Kashmir memang selalu tempat yang indah. Baik Kashmir dari sisi India ataupun Kashmir dari sisi Pakistan. Pegunungan Himalaya yang memeluknya membuat kawasan ini seolah lukisan kebesaran Sang Pencipta.

Meskipun dia bukan pria yang berusia muda, namun caranya tersenyum rasanya membuat umur menjadi hanya sekedar angka. Perkenalan kami delapan bulan lalu menjadi awal komunikasi yang panjang. Komunikasi yang rasanya… berbeda dengan pria lain yang pernah aku temui.

Lebih tenang dan bermakna. Apakah itu karena usianya? Hmmmmm rasanya tidak juga. Karena aku menemukan beberapa pria dengan usia lebih darinya bahkan masih pecicilan jika berbicara dengan wanita.

Tidak setiap hari kami bertegur sapa. Sesekali memberi salam dan memberi ucapan ‘semoga harimu menyenangkan’. Namun begitulah hubungan yang didasari ketulusan, ada saja sentuhan istimewa.

Entah mengapa dengan pribadinya yang menyenangkan, ternyata rumah tangganya kandas juga. Pernah aku menanyakan alasan tentang hal itu. Namun dia menjawab dengan jawaban yang diplomatis. Mungkin dia ingin melindungi seseorang atau bahkan dirinya sendiri.

Aku menghormati kerahasiaan yang dia lakukan. Dari caranya berbicara tampak jelas bahwa dia adalah pria yang telah selesai dengan masa lalunya. Selalu menyenangkan berbicara dengan seorang pria yang nol penghakiman.

Dia menceritakan juga tentang kegagalannya. Namun dari apa yang dia alami, tidak satu pun yang dia berikan tanggung jawab atas kesalahan dan kegagalan. Dia menerima semuanya lengkap semata sebagai bagian dari perjalanan.

Pembicaraan kami yang berwarna warni menjadi ciri khas dari setiap obrolan. Kami berbicara tentang budaya, sosial, agama, bisnis bahkan tentang cinta. Bukan hal yang biasa untuk dibahas oleh orang-orang yang bertemu di dunia maya. Karena kebanyakan orang bertemu di dunia maya hanya untuk bersenang-senang atau mencari tempat untuk mencurahkan perasaan tanpa rasa malu.

Namanya Usman, usianya lima puluh satu tahun. Empat belas tahun lebih tua dariku. Aku bertemu dengannya di FB. Entah apa yang menyebabkan dia menyapaku di inbox. Sudah biasa bagiku untuk menjawab sapaan setiap orang yang masuk ke inbox-ku dengan ramah dan sopan. Terutama bagi mereka yang memulainya dengan ramah dan sopan pula.

Aku pernah bertanya padanya tentang sebab mengapa dia menyapaku di inbox. Dia bilang dia melihat sebuah komentarku dalam sebuah komunitas international. Menurut dia komentar itu sangat cerdas, mengingat aku seorang wanita Indonesia.

Wanita terutama di Asia tidak selalu bersedia untuk mengutarakan pendapat. Terutama jika pendapat itu lantas bertentangan dengan pandangan masyarakat.

“Namun aku melihat komentarmu yang cerdas dan berani. Bagiku itu luar biasa,” begitu katanya.

Hal lain yang istimewa adalah karena aku wanita Indonesia. Usman pernah tinggal dan bekerja di Indonesia dalam waktu lama. Indonesia bukan hal baru baginya. Maka ketika dia melihat seorang wanita Indonesia dengan pribadi yang berani dia sangat terkejut. Apapun alasannya, sekarang kami berteman.

Aku seorang single mom yang telah sendiri lebih dari dua belas tahun lalu. Dan Usman juga telah bercerai tujuh tahun lalu. Namun demikian rasanya masih sungkan untuk kami membicarakan tentang hubungan. Kami bahkan tidak pernah melakukan voice call atau video call. Padahal dari hari ke hari kami semakin sering teribat diskusi panjang.

Suatu hari dalam kunjungannya ke Kashmir, Usman mengirimiku sebuah gambar pemandangan, Cantik sekali. Sebuah pemandangan air terjun dengan lembah hijau di sisi kanan kirinya. Sebaris pelangi bagai payung yang menaungi. Dia bilang, “Kamu boleh menggunakannya untuk pemanis artikelmu.”

Usman tahu aku memang seorang penulis yang seringkali menuangkan pikiran di berbagai tempat. Dan sebagai pelengkap, aku akan menyertakan gambar.

Perhatian-perhatian kecil yang Usman berikan kadang melelehkan hatiku. Suatu hari aku bertanya, “Kamu punya keinginan menikah lagi nggak?”

“Iya, pasti. Aku juga pria normal.”

“Lantas kenapa tidak menikah lagi? Kamu kan pria lebih mudah mendapatkan pasangan baru.”

“Wanita selalu ada saja yang bersedia. Masalahnya ada padaku.”

“Kenapa?”

“Aku ingin memperbaiki diriku atas kegagalan rumah tanggaku yang dulu. Aku tidak bisa bilang semua adalah kesalahan mantan istriku. Pasti ada juga andilku disitu sebagai kepala rumah tangga.”

“Seperti?”

“Aku tidak bisa menceritakan padamu. Biarlah masa lalu menjadi pelajaran untuk diriku. Sekarang aku sedang memantaskan diri untuk menjadi imam yang pantas untuk wanita masa depanku.”

Jawaban yang terakhir menggelitik pikiranku. Dan membuatku ingin mempertanyakan sesuatu yang menyangkut kami berdua. Meskipun sebetulnya aku ragu tapi rasa penasaran sudah menang di pikiranku.

“Pernah terpikir menikahi wanita Indonesia?”

“Iya, negara bukan alasanku untuk menikah dengan seorang wanita.”

“Jika seorang wanita yang lebih muda datang padamu untuk menawarkan cinta?”

“Akan aku pertimbangkan.”

“Apakah kamu bersedia menikah dengan segera?”

“Keinginan itu ada. Namun menikah kan bukan hanya butuh doa.”

“Lalu?”

“Saat ini aku sedang nyaman berbicara dengan seorang wanita Indonesia. Dia lebih muda dariku. Cantik dan cerdas. Perjalanan hidup dan caranya memandang dunia membuatku kagum. Mungkin dia wanita yang terbaik saat ini di pikiranku.”

“Lalu?”

“Untuk mendapatkan wanita seperti itu aku tidak mungkin datang hanya dengan passpor dan nama. Aku ingin memberikan kepadanya sesuatu yang istimewa. Se-istimewa dirinya.”

“Caranya?”

“Aku akan membuat diriku mampu. Di usiaku hal seperti ini tidak mudah diraih. Namun jika wanita itu memang ALLAH takdirkan menjadi milikku. Maka ALLAH pasti akan memampukan aku untuk menjemputnya.”

“Oh.. beruntung sekali wanita itu. Diam – diam diperjuangkan oleh pria sepertimu.”

“Iya, dan beruntung sekali aku dipertemukan dengan wanita itu. Cerita hidupnya, apa – apa yang ditulisnya selalu memberikan semangat dan inspirasi bagiku.”

“Dia seorang penulis?”

“Iya.”

“Pernahkah kau menyatakan perasaanmu padanya?”

“Tidak, sampai aku benar – benar siap untuk menjemputnya aku tidak ingin memberikan warna yang lain untuk hubungan kami. Biarkan dia bebas.”

“Tapi jika dia memilih yang lain?”

“Mungkin dia memang bukan untukku dan aku bukan untuknya.”

“Kamu tidak merasa kehilangan?”

“Ah, tidak perlulah berandai – andai. Kita jalani saja hari ini. Doa selalu kekuatan utama. Sampai hari ini doaku masih sama. Aku ingin ALLAH menjadikan aku mampu dan layak untuk mendapatkan wanita istimewa itu.”

Pembicaranku dengan Usman memang selalu diplomatis. Kami tidak berusaha mencari tahu satu sama lain tentang dalamnya perasaan kami. Aku bahkan tidak tahu apakah wanita yang dimaksud adalah diriku. Dan aku merasa tidak perlu mempertanyakan juga.

Dari setiap obrolanku dengannya aku belajar, bagaimana memberi ruang. Memberi ruang untuk orang lain tanpa mengikatkan komitmen dan hubungan jika memang belum mampu. Dan terlebih aku belajar bagaimana memberi ruang untuk diriku sendiri.

Ada saja kegagalan tentang kehidupan tapi yang terpenting adalah bagaimana bertumbuh. Bertumbuh untuk jalan ke depan agar mimpi dan harapan terwujudkan. Bukan sekedar angan dan bayangan.

Seperti hubunganku dengan Usman yang tanpa nama. Namun kami cukup nyaman untuk seringkali berbicara. Dari satu pandangan ke pandangan lainnya. Dari satu kesan ke kesan berikutnya.

Mungkin apa yang ada di hatiku sama dengan apa yang ada di hatinya. Tapi kami sadar belum tepat waktunya untuk bertanya “Maukah kamu menjadi bagian dari diriku”.

Sang Editor

 


Di usia dua puluh tahun, dia telah menjadi editor termuda di India. Dan sekarang, usianya tiga puluh tahun. Memang beberapa tahun lebih muda dariku, namun apalah arti usia itu, hanya sekedar angka.

Uang dan kekuasaan ada di tangannya. Keberhasilan yang menumbuhkan arogansi tanpa tepi. Setiap wanita yang memandang akan mudah saja bertekuk lutut padanya. Penampilan tampan dan serentet barang mewah selalu menempel di dirinya.

Namanya Nishant, namun aku biasa memanggilnya Nisy. Bagiku itu lebih mudah untuk diucapkan. Kami bertemu di sebuah komunitas Facebook, komunitas single muslim. Pertemuan yang sebenarnya hanya karena sama-sama membunuh waktu dan kebosanan. Setidaknya begitu yang aku rasakan. Sebagai ibu tunggal dan seorang penulis, kadang jenuh melandaku. Komunitas-komunitas seperti ini menjadi kesempatan bagiku untuk bertemu orang-orang baru.

Beberapa waktu berselang sejak pertemuan pertama kami. Pembicaraan kami kian hari semakin hangat di hati. Kami tidak berbicara tentang cinta selama ini, hanya pembicaraan ringan tentang pekerjaan, hobi, dan keseharian. Memang dari awal aku sudah melihat arogansinya akan pencapaian hidup.

Sering dalam pembicaraan kami di video call, dia menunjukkan berbagai properti. Rumah mewah, kantor megah, ruangan khusus untuknya yang di desain begitu indah, bahkan dia berencana mengirimiku beberapa barang mewah dari sebuah toko online terbesar di dunia. Untuk sementara aku menolaknya. Bagiku terlalu cepat semua pemberian itu, aku perlu tahu lebih dalam tentangnya.

Karena bagiku, ketika pemberian sudah di tangan, artinya aku setuju untuk berjalan lebih jauh dengannya dan mungkin masuk ke dalam sebuah hubungan. Sampai suatu hari Nisy mengundangku untuk ikut hadir di sebuah pertemuan virtual untuk jurnalis dan editor seluruh India.

Aku benar-benar terkejut, untuk apa aku hadir di sana. Setelah pertemuan dimulai, ternyata Nisy adalah pembicara utamanya. Pertemuan berlangsung kurang lebih dua jam. Undangan yang tiba-tiba itu membuatku tidak siap. Aku menutup kamera dan menyimak diam-diam saja. Aku pun tanpa kata disana, hanya aku lihat Nisy sibuk memberikan instruksi. Sesekali dia terlihat sedikit marah pada satu atau dua jurnalisnya.

Selesai acara, Nisy menghubungiku melalui pesan chat, “Kenapa kamu menutup kameramu?”

“Karena aku tidak dalam pakaian yang pantas untuk hadir di acara seperti itu.”

“Siapa yang akan peduli dengan pakaianmu?”

“Tentu saja kolegamu.”

“Mereka semua di bawah supervisiku, aku adalah atasan mereka. Semua itu adalah jurnalis junior.”

“Iya, aku tahu. Lalu kenapa kamu mengundangku disana?”

“Aku ingin kamu tahu bagaimana aku bekerja dan caraku meng-handle kolegaku.”

“Untuk menunjukkan betapa besar dirimu?”

“Iya.”

“Namun aku tidak tertarik dengan semua itu.”

“Bagaimana bisa? Selama ini tidak ada satupun wanita yang tidak bertekuk lutut dengan mantra kekayaan, ketampanan, dan kekuasaanku.”

“Tapi wanita itu bukan aku.”

“Kamu mengusik lukaku.”

“Luka yang mana?”

Nisy memanggilku dalam sebuah panggilan video call. Setelah beberapa bincang kecil, aku kembali mempertanyakan luka itu. Nisy menarik nafas panjang dan memandangku. Beberapa menit dia terdiam, seolah meyakinkan diri apakah betul dia ingin berbagi masa lalu denganku. Sebuah kata pembuka yang begitu menyakitkan akhirnya berhasil dia ucapkan.

“Tukang buah itu mengalahkanku,” lalu Nisy mulai bercerita.

“Lima tahun lalu aku pernah memiliki kekasih. Kami saling mencintai. Dia begitu peduli dan melimpahiku dengan kasih sayang. Dia mencintaiku tanpa syarat. Dan aku memberinya apapun yang dia mau. Aku memberikan dia kartu kredit dan uang. Dia bisa membeli apapun yang dia mau.

Namun semakin hari di tahun ketiga, tuntutan lain muncul darinya. Tuntutan yang selama ini tidak pernah dia ucapkan, namun ternyata dia rindukan. Tanpa aku sadari ternyata aku tidak pernah memberikan padanya yaitu waktu dan perhatian. Sebagai editor sebuah redaksi dan menangani ratusan jurnalis, aku bekerja dua puluh empat jam sehari.

Aku tidur di kantor dan terkadang aku bahkan lupa makan dan lupa diriku sendiri. Entah ide gila dari mana yang membuat dia mengatakan itu padaku. Setelah tiga tahun hubungan kami, aku merasa seharusnya dia sudah menerimaku sepenuhnya.

Sampai suatu hari aku menemukan fakta bahwa kekasihku itu memiliki hubungan dengan seorang pemilik toko buah. Aku begitu marah dan terpukul. Aku terluka, aku merasa begitu rendah karenanya. Aku seorang editor dengan pendidikan tinggi, pencapaian luar biasa, aku punya segalanya.

Dan aku pun meminta dengan tegas padanya untuk memilih, tukang buah itu atau aku. Dan dia memilih tukang buah itu. Keputusannya serasa membunuhku. Aku merasa dikalahkan oleh tukang buah itu. Bagai mimpi aku dibuang dari kehidupannya hanya karena seorang tukang buah. Baiklah, pantang bagiku untuk menahan seorang wanita yang memang ingin pergi dari hidupku. Aku hanya butuh satu alasan kenapa dia memilih tukang buah itu.

Dan alasannya sungguh menyakiti hatiku. Karena tukang buah itu bisa memberinya kasih sayang, perhatian, dan waktu untuknya. Dia mengatakan tiga tahun bersamaku dia selalu merasa kesepian. Uang dan segala yang aku berikan padanya ternyata tidak cukup untuk membuatnya bahagia. Dia tidak bisa membayangkan masuk ke dalam hubungan pernikahan dengan semua kesibukanku. Sebuah alasan yang bagiku tidak masuk akal. Untuk apa semua itu? Di dunia ini yang kita butuhkan adalah uang dan kekuasaan. Dengan dua hal itu hidup menjadi mudah.”

Bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi Nisy. Dibalut rasa kecewa dan kemarahan. Dan aku berusaha mengerti apa yang Nisy rasakan.

“Lalu kenapa kamu masuk ke komunitas online single dan memintaku lebih jauh bersamamu?”

“Karena kamu jauh, di negara yang berbeda. Aku berharap kamu bisa mengerti aku tanpa menuntut waktu dan perhatian.”

“Tapi bukankah aku wanita juga, Nisy?”

“Iya, tapi kita tidak perlu setiap kali bertemu dan bertemu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku.”

“Jadi apa yang kamu inginkan dari sebuah hubungan?”

“Aku ingin seseorang yang mencintaiku. Dan sebagai imbalan, aku akan memberi uang atau apapun yang mereka inginkan. Hatiku kosong tanpa seseorang yang mencintaiku.”

“Nisy, cepat atau lambat jika kita memang ingin masuk ke dalam sebuah hubungan, maka kita pasti membawanya ke alam nyata. Dan aku pun wanita dengan tuntutan yang sama. Jika kamu bertemu wanita yang hanya peduli pada uangmu, maka kamu harus mempertanyakan ketulusannya. Wanita yang sungguh-sungguh mencintaimu pasti menginginkan cinta yang sama darimu. Karena hanya cinta yang bisa menemukan cinta. Kamu tidak bisa menemukan jalan lain untuk menemukan kebahagiaan selain menemukan cinta sejati dalam bentuk dan hubungan apapun.”

Sejak hari itu, kami merubah haluan, hubungan kami kembali sebagai teman. Nisy sering menceritakan luka-luka dan kesepiannya. Aku pun sering menceritakan tentang perjalanan hidup dan mimpi-mimpiku.

Nisy memberiku ide tentang pembuatan buku dan artikel-artikelku. Dan aku selalu membawa Nisy untuk melangkah satu per satu, merangkul kembali hidupnya yang hilang ditelan pekerjaan dan uang.

Mungkin kami memang tidak punya tujuan yang sama, namun kami mencoba bergandengan dan saling menguatkan dalam perjalanan kehidupan ini.

Monday, November 15, 2021

Australia - Indonesia

 



Namanya Manu.

Bukan cinta tapi nyaman bersama.
Jatuh bangun hubungan sejak awal tahun lalu sudah kami alami. Apa bentuk hubungannya dan apakah itu cinta? Entahlah kami menjalani saja.
Bertengkar, saling block dan tertawa bersama menjadi makanan dalam hubungan kami beberapa bulan ini. Aku bertemu Manu di sebuah situs kencan online Indonesiancupid.com. Kenapa lagi – lagi online, ya memang itu pilihanku.
Aku lebih nyaman memulai sebuah hubungan yang unik dengan pria lewat dating site. Lebih tenang, tidak buru – buru dan perlahan. Membaca kepribadian sedikit demi sedikit tanpa repot harus meluangkan waktu untuk ketemu dan ketemu.
Jika ada yang mempertanyakan, memangnya tidak takut ditipu? Jujur saja yang ketemu langsung juga banyak yang kena tipu kan?
Kencan online ini kan hanya sarana saja untuk mengenal orang – orang baru. Bahkan yang dikenalin teman, sahabat, om dan tante juga bisa menipu, kok.
Jika kita percaya orang – orang yang telah lama kita kenal seperti sahabat SD, teman kuliah atau rekan kerja untuk membuat sebuah hubungan dengan dasar cinta resiko di khianati dan ditipunya pun sama.
Ini kan cuma masalah pintar – pintar kita saja. Seberapa siap dan nyaman kita dalam melalui prosesnya. Penting adalah kita bisa mengenali mana scammer, mana yang sekedar mau fun dan mana yang benar – benar punya tujuan. Sama kan di dunia nyata juga kita menemukan penipu, play boy, pemain dan orang yang punya tujuan.
Bedanya jika di dunia nyata kita akan sibuk.... saja menghindari atau bertemu mereka – mereka yang mungkin bisa menemukan kita di berbagai tempat. Melakukan hal – hal secara langsung.
Tapi di online dating ketika saya bertemu dengan orang – orang dengan tujuan yang tidak sama dan itu terbaca dari cara mereka berbicara maka saya tinggal block saja dan beres.
Namun jika bertemu dengan orang – orang dengan getaran dan tujuan yang sama, maka kita tinggal agendakan untuk bertemu dan mengenal lebih jauh. Jika cocok ya bisa berlanjut ke tahapan selanjutnya jika tidak cocok ya sudah kita bisa meneruskan perjalanan masing – masing untuk kembali mencari yang kita inginkan.
Di online dating saya ingin memiliki hubungan yang nyaman. Hubungan dimana banyak pengertian, makna dan arti di dalamnya. Bisa bertukar pendapat, opini, pengetahuan dan pengalaman – pengalaman baru.
Ok, ini kenapa tulisan jadi membahas online dating ya (tepok jidat mode on)
Kembali ke Manu. Setelah pembicaraan kami yang panjang di chat, berbagai photo dikirimkan dan juga video call kami mulai mengenal satu sama lain dengan baik.
Sebetulnya Australia ke Indonesia memang tidak terlalu jauh dan Manu memang sudah sering datang ke Indonesia. Dengan pertemuan kami di dating site dia berencana datang untuk menemuiku. Tapi apalah daya pandemi membuat kami harus bersabar.
Manu adalah pria keturunan India yang tinggal dan berkewarganegaraan Australia. Manu tinggal di Australia bersama kedua orang tuanya sejak dia masih kecil. Namun demikian seperti kebanyakan orang India, tradisi, budaya dan adat begitu kental dalam diri keluarganya.
Dia memiliki perkerjaan utama yang membuatnya menghasilkan uang. Namun yang menarik adalah hobby dan hasratnya. Dia seorang traveller dan juga Youtuber. Untuk kedua hobby-nya ini Manu rela merogoh saku sangat dalam dan menghabiskan banyak uang.
Dia memberikan aku link untuk channel youtube-nya dan melihat beberapa video hasil karyanya. Setelah melihat beberapa dan juga foto-foto di wall pribadinya ada yang menggelitik hatiku. Sepertinya Manu selalu keliling dunia tidak sendiri. Karena kamera itu ada yang lain yang menggerakkannya.
Aku juga tidak terlalu tertarik siapa yang bersamanya, aku cuma basa – basi saja sebenarnya bertanya.
“Siapa yang menggambil foto ini?”
Aku menunjukkan salah satu fotonya di sebuah candi di Bali. Photo yang sangat bagus dengan Manu seorang diri di dalamnya. Aku rasa itu buka tripod dan timer camera yang bekerja menghasilkan photo.
Satu hal yang aku suka dari Manu adalah dia selalu jujur dan tidak berusaha menyembunyikan dirinya. Meskipun berdarah India namun dalam hal pemikiran Manu sudah lebih bernilai seperti pria Australia karena sejak kecil dia tumbuh dan besar disana.
Manu menjawab,
“Seorang gadis Indonesia yang menemaniku saat aku berkunjung ke Bali waktu itu.”
Hmmmm... satu 'lampu kuning' menyala di kepalaku
“Jadi sebetulnya kamu masuk dating site apa sih yang kamu cari?”
Manu menjawab pertanyaanku dengan jujur,
“Seseorang yang bisa aku ajak berbagi. Seseorang yang bisa memberiku ketenangan dan kebahagiaan jiwa yang selama 38 tahun ini tidak pernah aku miliki.”
Dan entah kenapa pikiran ekstrim tiba – tiba saja lewat di kepalaku untuk mengajukan pertanyaan paling bodoh.
Bagi orang yang terbiasa bermain di online dating pertanyaan ini memang bodoh banget. Karena di online dating asumsi yang paling mendasar adalah seseorang itu memang single dan karena single itulah mencari pasangan di online dating.
Biarin deh kelihatan bodoh tapi aku ingin melemparkan pertanyaan ini pada Manu,
“Apakah kamu sudah punya istri?”
Manu tetap tenang dan dia merasa nyaman untuk menjawab,
“Iya aku sudah menikah dan istriku tinggal di rumah bersama orang tuaku. Namun secara apapun aku tidak merasa terhubung dengannya. Aku akan menceritakan padamu nanti saat kita bertemu.”
Baiklah aku berhenti di pertanyaan itu. Aku menghargai kejujuran Manu dan membiarkan dia tetap di zona nyaman tentang apa yang ingin dan tidak ingin dia sampaikan padaku saat ini. Aku melanjutkan pertanyaan yang lebih berhubungan dengan hubungan kami.
“Jadi kamu masuk ke dating site memang untuk menemukan teman kencan di negara – negara yang kamu datangi. Sehingga kamu ada teman yang memandumu untuk keliling sekaligus menemani malam – malammu, aku benar kan ?”
Kami memang sudah sampai pada tahapan nyaman dan terbuka satu sama lain setelah tujuh bulan berkomunikasi.
“Iya, tapi kamu tenang saja. Aku tidak akan memintamu seperti aku meminta wanita lain yang pernah kutemui. Entah kenapa aku merasa kamu begitu dekat di hatiku, berbicara denganmu membuatku nyaman. Aku serasa menjadi diriku sendiri yang aku inginkan. Dan aku juga tahu kamu seorang wanita muslim yang menjaga dirimu. Aku mungkin akan memintamu untuk menemaniku keliling Indonesia di perjalananku selanjutnya. Tapi, untuk urusan tempat tidur kamu hanya akan melakukan jika kamu menginginkan. Aku tidak akan memintamu atau memaksamu. Apalagi membayarmu seperti wanita lain. Kamu akan bersamaku sebagai teman."
Pernyataan yang manis dari seorang Manu. Entah kapan dan bagaimana kami akan bertemu nanti karena pandemi pun sampai sekarang tidak jelas kapan akan berakhir.
Yogyakarta akan menjadi tujuan perjalanan Manu selanjutnya. Bukan hanya karena aku telah memberikan banyak informasi tentang kota ini yang membuatnya tertarik. Tapi dengan dia memilih kota ini dia berharap akan lebih mudah bagi kami untuk bertemu.
Aku sampaikan pada Manu bahwa aku punya banyak keluarga di Yogyakarta yang bisa memfasilitasiku jika kita memang mau bertemu disana.
Dari hubunganku dan Manu aku belajar bahwa jika kita memberikan kejujuran dan kebenaran dari diri kita maka, kita pun akan menemukan kebenaran dan kejujuran dari diri orang lain.
Aku telah menjadi single mom selama dua belas tahun. Tapi aku menerima dengan baik proses dan perjalananku. Aku memiliki diriku yang bahagia, kebebasan untuk memilih apa yang ingin dan tidak ingin aku lakukan.
Bagaimana dengan Manu. Dia terikat dalam sebuah pernikahan. Entah seperti apa kebenaran hubungan Manu dan istrinya. Namun nyatanya Manu masih saja pecicilan di online dating.
Bahkan ketika dia menghabiskan banyak uang untuk travelling dan membuat content Youtube, dia memilih untuk bersama wanita baru yang bisa membawa dia sebentar beralih dari dunia nyata daripada dengan istrinya.
Manu, ya sudahlah ya, apa hendak dikata dia pasti punya juga alasan kenapa melakukan ini dan itu.
Sebagai wanita aku mencoba berdiri di sisi istri Manu. Apa yang dirasakan oleh wanita ini jika dia tahu sesungguhnya apa yang dilakukan suaminya.
Entahlah seperti apapun kebenaran yang nantinya satu persatu mungkin Manu sampaikan padaku. Namun aku percaya selalu ada pelajaran yang bisa di ambil bahkan dari cerita terkecil sekalipun.
Ada orang – orang yang bertahan dengan banyak alasan dalam sebuah ikatan. Ada juga yang takut dengan kesendirian. Dan aku memilih untuk bahagia dengan atau tanpa penyertaan seorang pria.

Upgrade Lima Belas

 



Awww ... ganteng banget!!!

Itulah reaksi pertama kali melihat photonya.
Sepupuku bahkan tertawa guling-guling ketika tahu aku menggunakan online dating untuk membentuk sebuah hubungan baru. Beberapa teman mengatakan itu bahaya, banyak kejahatan dan penipuan.
Tapi aku lihatnya nggak begitu. Bagiku online dating hanyalah sebuah sarana. Sarana untuk bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Orang-orang yang mungkin tidak akan kita jangkau dengan kaki dan tangan kita.
Buatku, orang-orang yang masuk online dating adalah orang-orang yang berani. Berani mengambil resiko, berani memperkenalkan dirinya, termasuk berani 'pegel' bertemu orang-orang yang salah dan bosannya ngobrol dengan mereka.
Kalau dulu orang-orang yang bermain di online dating dianggap sebagai orang-orang yang secara kehidupan nyata tidak mampu membangun sebuah hubungan. Apakah di jaman sekarang hal seperti ini masih berlaku juga? Tergantung masing-masing individu.
Kita punya sudut pandang, kita punya pilihan dan kita punya penilaian kita sediri.
Tapi kalau buat saya, orang-orang yang masuk online dating termasuk komunitas-komunitas di fb adalah orang-orang yang tahu potensi dirinya untuk di temukan oleh yang lain dengan potensi yang sama.
Jika bertemu orang dengan potensi berbeda atau keinginan yang berbeda, biasanya umur hubungannya nggak lama sih. Beberapa kali chat sudah bosen dan gagal.
Nyatanya selama saya bermain di online dating  dua tahun ini, saya membentuk hubungan-hubungan baru dengan banyak orang . Meskipun sampai sekarang belum sampai melangkah ke pernikahan.
Beberapa menjadi teman baik, sahabat, partner dan beberapa jadi musuh juga. Saling block dan berusaha saling melupakan.
Satu yang akhirnya sampai sekarang tanpa status. Dia seseorang dari Khasmir, Pakistan. Kami bertemu di sebuah komunitas Moslem Single International.
Anggota komunitas fb bisa siapa saja karena gratis dan lebih mudah untuk bergabung.
Berbeda dengan dating site yang kebanyakan adalah mereka yang memiliki uang. Karena berbayar dan cukup rumit dalam pengisian datanya. Ini untuk dating site yang selama ini saya pakai, ya.
Sebenarnya selama ini saya hanya silent rider saja di komunitas ini. Hingga suatu hari saya membuat postingan tentang single mom.
Ternyata postingan saya ini menarik perhatian dari seseorang. Seorang pria dari Khasmir, Pakistan. Dia masuk ke inbox saya. Kami berkenalan dan berbincang banyak tentang pandangan seorang single mom di negara lain.
Dia memberikan banyak sekali cerita juga gambaran hidup seorang single mom di India, Pakistan, Nepal dan Bangladesh karena itu adalah negara-negara sekitar Khasmir dimana dia tahu persis pola kehidupan masyarakat disana.
Ahh trenyuhnya hati mendengar cerita ini. Ternyata single mom di Indonesia jauh dan jauh lebih beruntung. Kita punya kesempatan yang sama dengan yang lain. Kita mendapatkan hak yang sama, kita bisa memperoleh perlindungan yang sama.
Dari banyak pembicaraan ini kami mulai tertarik satu sama lain. Kami mulai berbicara ke ranah pribadi. Memperkenalkan kehidupan sehari-hari dan pekerjaan masing-masing.
Darinya juga aku baru tahu kalau ternyata Khasmir terbagi di dua wilayah, setengah bagian adalah milik India dan setengah bagian adalah milik Pakistan. Dan dia ada di sisi Pakistan.
Lalu kami memutuskan untuk lebih dekat dan mulai membentuk hubungan di WA. Dari WA inilah kami sering melakukan video call. Dia memperlihatkan banyak hal.
Seorang pemilik hotel di Khasmir rupanya, ya ... ya ... ya ....
Pantas saja, cara pandang dan berpikirnya terlihat istimewa. Cara dia memberikan penilaian tentang seorang wanita dan single mom jauh lebih baik dibandingkan dengan pria-pria yang pernah kutemui.
Singkat cerita tahun 2019 dia memutuskan untuk datang ke Indonesia. Baginya Indonesia adalah negara yang jarang terdengar. Dia tahunya Bali. Dia pikir Bali adalah sebuah negara.
Sebenarnya kedatangannya ke Indonesia membuatku ragu juga. Mau apa dia ya?
Kalau sekedar berkunjung, hmm ... biaya untuk sekali visit kan tidak murah juga. Kecuali dia datang dengan sebuah tujuan lain.
Tapi dia bilang, “Ini hanya liburan biasa. Biasanya saya akan berlibur ke daerah Asia lain seperti Jepang, Korea atau China. Tahun sebelumnya saya berlibur ke daerah Timur Tengah. Namun kali ini saya akan berlibur ke Indonesia. Karena saya berlibur sekaligus bertemu seseorang yang dekat di hati.”
Pertama kali melihat langsung dirinya di Indonesia aku sangat terkejut.
Muda banget ...!
Iya, gantengnya jelas sama seperti photonya tapi ketika melihat dengan mata langsung aku rasa dia meng-upgrade umurnya terlalu banyak.
Namun kesempatan bertemu hari pertama tentu bukan hal yang baik untuk bertanya ini itu. Dia rupanya telah meminta asistennya untuk mengatur akomodasi selama di Indonesia.
Sebelumnya dia memintaku untuk mengirimkan map rumahku, untuk mempermudah dia mencari hotel terdekat dengan rumahku.
Betapa tertawanya dia, ketika dia tahu aku tinggal di sebuah perumahan dekat kaki gunung kapur.
“Saya tidak menyangka Indonesia sangat canggih. Bahkan di kaki gunung pun kamu bisa mendapatkan akses internet sebagus ini. Saya di Khasmir, mendapatkan akses internet terbatas. Dan itupun dengan kualitas koneksi yang sangat lambat. Itulah sebabnya saya lebih senang mengirimkan video daripada langsung. Karena pasti akan banyak gangguan dan membuatmu tidak nyaman.”
Dia hanya berencana untuk tinggal di Bogor selama tiga hari. Selanjutnya dia akan melanjutkan perjalanan ke Bali untuk bertemu temannya yang juga pengusaha disana.
Hari pertama pertemuan kami tidak teralu lama. Karena pesawat memang mendarat sudah menjelang sore. Dia memberitahuku bahwa dia sudah sampai di hotel sekitar habis maghrib. Kami makan malam dan bercerita ini itu.
Hari kedua dia di Bogor kami berencana untuk pergi ke sebuah tempat di Jakarta. Dia memang memintaku untuk mengatur tempat-tempat yang mungkin bisa dia kunjungi.
Aku membawa dia ke Taman Mini Indonesia Indah. Aku pikir dari tempat ini dia akan tahu Indonesia secara keseluruhan dalam satu hari. Seharian kami berkeliling. Dia begitu tertarik dengan Indonesia. Dia baru tahu Indonesia banyak suku bangsa dan aneka ragam budaya.
Dia sangat tertarik dan tidak berhenti memotret apapun yang dilihatnya. Dia bahkan sibuk sendiri dan kadang aku merasa dia lupa aku ada disebelahnya ha ... ha ... ha...!
Beberapa candaan ringan menjadi pengiring di hari itu. Dan pembicaraan yang sedikit pribadi di saat makan malam. Dia ingin bertemu keluargaku ke esokan harinya.
Hmm ... secepat itukah? Aku tidak izinkan. Ini pertemuan pertama, terlalu cepat rasanya.
Hari ketiga aku mengajaknya dia ke daerah puncak. Aku tunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya panas tapi punya juga tempat-tempat dingin meskipun tidak sedingin Khasmir tentunya. Karena Khasmir adalah wilayah dengan latar belakang pegunungan Himalaya, lebih banyak udara dingin daripada panas.
Kami banyak wisata kuliner hari itu. Sejak dari Bogor kota sampai ke Puncak Pass. Hari itu waktu kami tidak banyak karena malam hari dia akan terbang ke Bali dan tiga hari kemudian dia akan kembali ke Khasmir, Pakistan langsung dari Bali.
Perjalanan kami di Puncak berakhir di Masjid At-tawun. Sebuah masjid yang indah di Puncak pass. Dari atas sini kami melihat pemandangan yang begitu indah.
Ahhh ... ini moment-nya. Aku ingin mendapatkan jawaban yang membuatku gelisah.
“Jadi Faisal, bolehkah kau jujur padaku? Sebelumnya kau katakan umurmu empat puluh tahun tapi aku rasa kamu berbohong padaku.”
Dia menatapku tanpa senyuman.
“Ya, jika kau tahu umurku maka kau akan langsung menolakku dan aku tidak akan pernah sampai di Indonesia untuk menjangkaumu. Ketika kamu bilang usiamu tiga puluh tujuh. Aku tahu perlu sesuatu untuk mendekat padamu.”
Dalam hatiku, 'ya mungkin.'
“Jadi berapa banyak kamu menambahkan umurmu?”
Dia menatap jauh ke arah kebun teh di depan kami.
“Lima belas.”
Aku menarik nafas panjang, jadi umur sebenarnya adalah dua puluh lima tahun.
“Kita akan tetap menjadi teman. Kamu memliki tempat special di hatiku. Tapi kita tidak akan berhasil dengan hubungan lebih dari ini.”
Dia menolehku dengan tatapan mata penuh kemarahan.
“Aku tidak ada masalah dengan perbedaan umur kita. Aku akan menerimamu secara utuh. Dan juga putrimu.”
Gantian aku menatap kebun teh yang luas itu.
“Ya, kita tidak akan ada masalah setidaknya sampai lima atau sepuluh tahun hubungan kita. Tapi sesudah itu? Mungkin aku mulai masuk masa senjaku dan kamu tetap sebagai pria muda dengan penuh gairah. Itu pasti menjadi masalah.”
Dia ikuti padanganku menatap kebun teh itu
“Aku tidak akan memaksamu. Kamu tahu betul aku mencintaimu. Aku tidak akan menempuh perjalanan sejauh ini jika bukan karena cinta yang mendorongku. Kalau aku sekedar main-main percayalah di Pakistan banyak gadis cantik berbaris rapi dan siap menerimaku. Tapi aku datang kemari karena aku memilihmu. Kamu berpikir terlalu jauh tentang lima atau sepuluh tahun lagi. Tapi bagiku, cinta dan hidup kita adalah tentang hari ini. Pikirkan lagi!”
Itulah akhir pembicaraan kami yang serius. Malamnya dia terbang ke Bali dan tiga hari kemudian dia kembali ke Pakistan.
Aku melihat status akhir WA nya “Indonesia, tolong jaga cintaku.”
Setibanya di Pakistan dia memberikan aku nama panggilan baru “Mrs fox” ha ... ha ... ha ....
Apa alasannya? 
“Karena kamu membuatku jatuh cinta namun kamu curang tidak mengizinkan aku memilikimu.”
Tidak ada goresan diantara kami. Kami bahagia dengan pertemuan kami dan kami bahagia dengan hubungan persahabatan kami yang baru.
Aku memberikan dia julukan baru “LIMO (little monster)” karena ternyata umurnya dua puluh lima dan bukan empat puluh.
Hampir tiga tahun berlalu. Hubungan kami terus berjalan namun aku tidak pernah berani memutuskan apapun. Rasanya rentang umur yang terlalu jauh itu menjadi tembok penghalang yang harus kujaga agar tidak runtuh.
Aku tahu dia yang aku inginkan untuk kebahagiaanku. Aku tahu dia bisa membawa bahagia untukku. Tapi ketakutanku akan luka yang mungkin timbul di masa depan nyatanya membuatku tidak berani mengizinkan diriku untuk sekali lagi masuk ke dalam pernikahan bersamanya.
Karena aku tahu pernikahan bukanlah hanya tentang hari ini dan lima tahun lagi. Ini tentang harapan untuk bersama di dalam satu perjalanan dengan tujuan yang sama.
Aku akan meminta waktu untuk berhenti di usiaku, dan aku akan meminta waktu untuk segera bergulir di usiamu. Bisakah?

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/