Tuesday, November 16, 2021

Pria Yang Selesai

 


Beberapa gambar dikirimkan. Kashmir memang selalu tempat yang indah. Baik Kashmir dari sisi India ataupun Kashmir dari sisi Pakistan. Pegunungan Himalaya yang memeluknya membuat kawasan ini seolah lukisan kebesaran Sang Pencipta.

Meskipun dia bukan pria yang berusia muda, namun caranya tersenyum rasanya membuat umur menjadi hanya sekedar angka. Perkenalan kami delapan bulan lalu menjadi awal komunikasi yang panjang. Komunikasi yang rasanya… berbeda dengan pria lain yang pernah aku temui.

Lebih tenang dan bermakna. Apakah itu karena usianya? Hmmmmm rasanya tidak juga. Karena aku menemukan beberapa pria dengan usia lebih darinya bahkan masih pecicilan jika berbicara dengan wanita.

Tidak setiap hari kami bertegur sapa. Sesekali memberi salam dan memberi ucapan ‘semoga harimu menyenangkan’. Namun begitulah hubungan yang didasari ketulusan, ada saja sentuhan istimewa.

Entah mengapa dengan pribadinya yang menyenangkan, ternyata rumah tangganya kandas juga. Pernah aku menanyakan alasan tentang hal itu. Namun dia menjawab dengan jawaban yang diplomatis. Mungkin dia ingin melindungi seseorang atau bahkan dirinya sendiri.

Aku menghormati kerahasiaan yang dia lakukan. Dari caranya berbicara tampak jelas bahwa dia adalah pria yang telah selesai dengan masa lalunya. Selalu menyenangkan berbicara dengan seorang pria yang nol penghakiman.

Dia menceritakan juga tentang kegagalannya. Namun dari apa yang dia alami, tidak satu pun yang dia berikan tanggung jawab atas kesalahan dan kegagalan. Dia menerima semuanya lengkap semata sebagai bagian dari perjalanan.

Pembicaraan kami yang berwarna warni menjadi ciri khas dari setiap obrolan. Kami berbicara tentang budaya, sosial, agama, bisnis bahkan tentang cinta. Bukan hal yang biasa untuk dibahas oleh orang-orang yang bertemu di dunia maya. Karena kebanyakan orang bertemu di dunia maya hanya untuk bersenang-senang atau mencari tempat untuk mencurahkan perasaan tanpa rasa malu.

Namanya Usman, usianya lima puluh satu tahun. Empat belas tahun lebih tua dariku. Aku bertemu dengannya di FB. Entah apa yang menyebabkan dia menyapaku di inbox. Sudah biasa bagiku untuk menjawab sapaan setiap orang yang masuk ke inbox-ku dengan ramah dan sopan. Terutama bagi mereka yang memulainya dengan ramah dan sopan pula.

Aku pernah bertanya padanya tentang sebab mengapa dia menyapaku di inbox. Dia bilang dia melihat sebuah komentarku dalam sebuah komunitas international. Menurut dia komentar itu sangat cerdas, mengingat aku seorang wanita Indonesia.

Wanita terutama di Asia tidak selalu bersedia untuk mengutarakan pendapat. Terutama jika pendapat itu lantas bertentangan dengan pandangan masyarakat.

“Namun aku melihat komentarmu yang cerdas dan berani. Bagiku itu luar biasa,” begitu katanya.

Hal lain yang istimewa adalah karena aku wanita Indonesia. Usman pernah tinggal dan bekerja di Indonesia dalam waktu lama. Indonesia bukan hal baru baginya. Maka ketika dia melihat seorang wanita Indonesia dengan pribadi yang berani dia sangat terkejut. Apapun alasannya, sekarang kami berteman.

Aku seorang single mom yang telah sendiri lebih dari dua belas tahun lalu. Dan Usman juga telah bercerai tujuh tahun lalu. Namun demikian rasanya masih sungkan untuk kami membicarakan tentang hubungan. Kami bahkan tidak pernah melakukan voice call atau video call. Padahal dari hari ke hari kami semakin sering teribat diskusi panjang.

Suatu hari dalam kunjungannya ke Kashmir, Usman mengirimiku sebuah gambar pemandangan, Cantik sekali. Sebuah pemandangan air terjun dengan lembah hijau di sisi kanan kirinya. Sebaris pelangi bagai payung yang menaungi. Dia bilang, “Kamu boleh menggunakannya untuk pemanis artikelmu.”

Usman tahu aku memang seorang penulis yang seringkali menuangkan pikiran di berbagai tempat. Dan sebagai pelengkap, aku akan menyertakan gambar.

Perhatian-perhatian kecil yang Usman berikan kadang melelehkan hatiku. Suatu hari aku bertanya, “Kamu punya keinginan menikah lagi nggak?”

“Iya, pasti. Aku juga pria normal.”

“Lantas kenapa tidak menikah lagi? Kamu kan pria lebih mudah mendapatkan pasangan baru.”

“Wanita selalu ada saja yang bersedia. Masalahnya ada padaku.”

“Kenapa?”

“Aku ingin memperbaiki diriku atas kegagalan rumah tanggaku yang dulu. Aku tidak bisa bilang semua adalah kesalahan mantan istriku. Pasti ada juga andilku disitu sebagai kepala rumah tangga.”

“Seperti?”

“Aku tidak bisa menceritakan padamu. Biarlah masa lalu menjadi pelajaran untuk diriku. Sekarang aku sedang memantaskan diri untuk menjadi imam yang pantas untuk wanita masa depanku.”

Jawaban yang terakhir menggelitik pikiranku. Dan membuatku ingin mempertanyakan sesuatu yang menyangkut kami berdua. Meskipun sebetulnya aku ragu tapi rasa penasaran sudah menang di pikiranku.

“Pernah terpikir menikahi wanita Indonesia?”

“Iya, negara bukan alasanku untuk menikah dengan seorang wanita.”

“Jika seorang wanita yang lebih muda datang padamu untuk menawarkan cinta?”

“Akan aku pertimbangkan.”

“Apakah kamu bersedia menikah dengan segera?”

“Keinginan itu ada. Namun menikah kan bukan hanya butuh doa.”

“Lalu?”

“Saat ini aku sedang nyaman berbicara dengan seorang wanita Indonesia. Dia lebih muda dariku. Cantik dan cerdas. Perjalanan hidup dan caranya memandang dunia membuatku kagum. Mungkin dia wanita yang terbaik saat ini di pikiranku.”

“Lalu?”

“Untuk mendapatkan wanita seperti itu aku tidak mungkin datang hanya dengan passpor dan nama. Aku ingin memberikan kepadanya sesuatu yang istimewa. Se-istimewa dirinya.”

“Caranya?”

“Aku akan membuat diriku mampu. Di usiaku hal seperti ini tidak mudah diraih. Namun jika wanita itu memang ALLAH takdirkan menjadi milikku. Maka ALLAH pasti akan memampukan aku untuk menjemputnya.”

“Oh.. beruntung sekali wanita itu. Diam – diam diperjuangkan oleh pria sepertimu.”

“Iya, dan beruntung sekali aku dipertemukan dengan wanita itu. Cerita hidupnya, apa – apa yang ditulisnya selalu memberikan semangat dan inspirasi bagiku.”

“Dia seorang penulis?”

“Iya.”

“Pernahkah kau menyatakan perasaanmu padanya?”

“Tidak, sampai aku benar – benar siap untuk menjemputnya aku tidak ingin memberikan warna yang lain untuk hubungan kami. Biarkan dia bebas.”

“Tapi jika dia memilih yang lain?”

“Mungkin dia memang bukan untukku dan aku bukan untuknya.”

“Kamu tidak merasa kehilangan?”

“Ah, tidak perlulah berandai – andai. Kita jalani saja hari ini. Doa selalu kekuatan utama. Sampai hari ini doaku masih sama. Aku ingin ALLAH menjadikan aku mampu dan layak untuk mendapatkan wanita istimewa itu.”

Pembicaranku dengan Usman memang selalu diplomatis. Kami tidak berusaha mencari tahu satu sama lain tentang dalamnya perasaan kami. Aku bahkan tidak tahu apakah wanita yang dimaksud adalah diriku. Dan aku merasa tidak perlu mempertanyakan juga.

Dari setiap obrolanku dengannya aku belajar, bagaimana memberi ruang. Memberi ruang untuk orang lain tanpa mengikatkan komitmen dan hubungan jika memang belum mampu. Dan terlebih aku belajar bagaimana memberi ruang untuk diriku sendiri.

Ada saja kegagalan tentang kehidupan tapi yang terpenting adalah bagaimana bertumbuh. Bertumbuh untuk jalan ke depan agar mimpi dan harapan terwujudkan. Bukan sekedar angan dan bayangan.

Seperti hubunganku dengan Usman yang tanpa nama. Namun kami cukup nyaman untuk seringkali berbicara. Dari satu pandangan ke pandangan lainnya. Dari satu kesan ke kesan berikutnya.

Mungkin apa yang ada di hatiku sama dengan apa yang ada di hatinya. Tapi kami sadar belum tepat waktunya untuk bertanya “Maukah kamu menjadi bagian dari diriku”.

No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/