Tuesday, November 16, 2021

Sang Editor

 


Di usia dua puluh tahun, dia telah menjadi editor termuda di India. Dan sekarang, usianya tiga puluh tahun. Memang beberapa tahun lebih muda dariku, namun apalah arti usia itu, hanya sekedar angka.

Uang dan kekuasaan ada di tangannya. Keberhasilan yang menumbuhkan arogansi tanpa tepi. Setiap wanita yang memandang akan mudah saja bertekuk lutut padanya. Penampilan tampan dan serentet barang mewah selalu menempel di dirinya.

Namanya Nishant, namun aku biasa memanggilnya Nisy. Bagiku itu lebih mudah untuk diucapkan. Kami bertemu di sebuah komunitas Facebook, komunitas single muslim. Pertemuan yang sebenarnya hanya karena sama-sama membunuh waktu dan kebosanan. Setidaknya begitu yang aku rasakan. Sebagai ibu tunggal dan seorang penulis, kadang jenuh melandaku. Komunitas-komunitas seperti ini menjadi kesempatan bagiku untuk bertemu orang-orang baru.

Beberapa waktu berselang sejak pertemuan pertama kami. Pembicaraan kami kian hari semakin hangat di hati. Kami tidak berbicara tentang cinta selama ini, hanya pembicaraan ringan tentang pekerjaan, hobi, dan keseharian. Memang dari awal aku sudah melihat arogansinya akan pencapaian hidup.

Sering dalam pembicaraan kami di video call, dia menunjukkan berbagai properti. Rumah mewah, kantor megah, ruangan khusus untuknya yang di desain begitu indah, bahkan dia berencana mengirimiku beberapa barang mewah dari sebuah toko online terbesar di dunia. Untuk sementara aku menolaknya. Bagiku terlalu cepat semua pemberian itu, aku perlu tahu lebih dalam tentangnya.

Karena bagiku, ketika pemberian sudah di tangan, artinya aku setuju untuk berjalan lebih jauh dengannya dan mungkin masuk ke dalam sebuah hubungan. Sampai suatu hari Nisy mengundangku untuk ikut hadir di sebuah pertemuan virtual untuk jurnalis dan editor seluruh India.

Aku benar-benar terkejut, untuk apa aku hadir di sana. Setelah pertemuan dimulai, ternyata Nisy adalah pembicara utamanya. Pertemuan berlangsung kurang lebih dua jam. Undangan yang tiba-tiba itu membuatku tidak siap. Aku menutup kamera dan menyimak diam-diam saja. Aku pun tanpa kata disana, hanya aku lihat Nisy sibuk memberikan instruksi. Sesekali dia terlihat sedikit marah pada satu atau dua jurnalisnya.

Selesai acara, Nisy menghubungiku melalui pesan chat, “Kenapa kamu menutup kameramu?”

“Karena aku tidak dalam pakaian yang pantas untuk hadir di acara seperti itu.”

“Siapa yang akan peduli dengan pakaianmu?”

“Tentu saja kolegamu.”

“Mereka semua di bawah supervisiku, aku adalah atasan mereka. Semua itu adalah jurnalis junior.”

“Iya, aku tahu. Lalu kenapa kamu mengundangku disana?”

“Aku ingin kamu tahu bagaimana aku bekerja dan caraku meng-handle kolegaku.”

“Untuk menunjukkan betapa besar dirimu?”

“Iya.”

“Namun aku tidak tertarik dengan semua itu.”

“Bagaimana bisa? Selama ini tidak ada satupun wanita yang tidak bertekuk lutut dengan mantra kekayaan, ketampanan, dan kekuasaanku.”

“Tapi wanita itu bukan aku.”

“Kamu mengusik lukaku.”

“Luka yang mana?”

Nisy memanggilku dalam sebuah panggilan video call. Setelah beberapa bincang kecil, aku kembali mempertanyakan luka itu. Nisy menarik nafas panjang dan memandangku. Beberapa menit dia terdiam, seolah meyakinkan diri apakah betul dia ingin berbagi masa lalu denganku. Sebuah kata pembuka yang begitu menyakitkan akhirnya berhasil dia ucapkan.

“Tukang buah itu mengalahkanku,” lalu Nisy mulai bercerita.

“Lima tahun lalu aku pernah memiliki kekasih. Kami saling mencintai. Dia begitu peduli dan melimpahiku dengan kasih sayang. Dia mencintaiku tanpa syarat. Dan aku memberinya apapun yang dia mau. Aku memberikan dia kartu kredit dan uang. Dia bisa membeli apapun yang dia mau.

Namun semakin hari di tahun ketiga, tuntutan lain muncul darinya. Tuntutan yang selama ini tidak pernah dia ucapkan, namun ternyata dia rindukan. Tanpa aku sadari ternyata aku tidak pernah memberikan padanya yaitu waktu dan perhatian. Sebagai editor sebuah redaksi dan menangani ratusan jurnalis, aku bekerja dua puluh empat jam sehari.

Aku tidur di kantor dan terkadang aku bahkan lupa makan dan lupa diriku sendiri. Entah ide gila dari mana yang membuat dia mengatakan itu padaku. Setelah tiga tahun hubungan kami, aku merasa seharusnya dia sudah menerimaku sepenuhnya.

Sampai suatu hari aku menemukan fakta bahwa kekasihku itu memiliki hubungan dengan seorang pemilik toko buah. Aku begitu marah dan terpukul. Aku terluka, aku merasa begitu rendah karenanya. Aku seorang editor dengan pendidikan tinggi, pencapaian luar biasa, aku punya segalanya.

Dan aku pun meminta dengan tegas padanya untuk memilih, tukang buah itu atau aku. Dan dia memilih tukang buah itu. Keputusannya serasa membunuhku. Aku merasa dikalahkan oleh tukang buah itu. Bagai mimpi aku dibuang dari kehidupannya hanya karena seorang tukang buah. Baiklah, pantang bagiku untuk menahan seorang wanita yang memang ingin pergi dari hidupku. Aku hanya butuh satu alasan kenapa dia memilih tukang buah itu.

Dan alasannya sungguh menyakiti hatiku. Karena tukang buah itu bisa memberinya kasih sayang, perhatian, dan waktu untuknya. Dia mengatakan tiga tahun bersamaku dia selalu merasa kesepian. Uang dan segala yang aku berikan padanya ternyata tidak cukup untuk membuatnya bahagia. Dia tidak bisa membayangkan masuk ke dalam hubungan pernikahan dengan semua kesibukanku. Sebuah alasan yang bagiku tidak masuk akal. Untuk apa semua itu? Di dunia ini yang kita butuhkan adalah uang dan kekuasaan. Dengan dua hal itu hidup menjadi mudah.”

Bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi Nisy. Dibalut rasa kecewa dan kemarahan. Dan aku berusaha mengerti apa yang Nisy rasakan.

“Lalu kenapa kamu masuk ke komunitas online single dan memintaku lebih jauh bersamamu?”

“Karena kamu jauh, di negara yang berbeda. Aku berharap kamu bisa mengerti aku tanpa menuntut waktu dan perhatian.”

“Tapi bukankah aku wanita juga, Nisy?”

“Iya, tapi kita tidak perlu setiap kali bertemu dan bertemu. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku.”

“Jadi apa yang kamu inginkan dari sebuah hubungan?”

“Aku ingin seseorang yang mencintaiku. Dan sebagai imbalan, aku akan memberi uang atau apapun yang mereka inginkan. Hatiku kosong tanpa seseorang yang mencintaiku.”

“Nisy, cepat atau lambat jika kita memang ingin masuk ke dalam sebuah hubungan, maka kita pasti membawanya ke alam nyata. Dan aku pun wanita dengan tuntutan yang sama. Jika kamu bertemu wanita yang hanya peduli pada uangmu, maka kamu harus mempertanyakan ketulusannya. Wanita yang sungguh-sungguh mencintaimu pasti menginginkan cinta yang sama darimu. Karena hanya cinta yang bisa menemukan cinta. Kamu tidak bisa menemukan jalan lain untuk menemukan kebahagiaan selain menemukan cinta sejati dalam bentuk dan hubungan apapun.”

Sejak hari itu, kami merubah haluan, hubungan kami kembali sebagai teman. Nisy sering menceritakan luka-luka dan kesepiannya. Aku pun sering menceritakan tentang perjalanan hidup dan mimpi-mimpiku.

Nisy memberiku ide tentang pembuatan buku dan artikel-artikelku. Dan aku selalu membawa Nisy untuk melangkah satu per satu, merangkul kembali hidupnya yang hilang ditelan pekerjaan dan uang.

Mungkin kami memang tidak punya tujuan yang sama, namun kami mencoba bergandengan dan saling menguatkan dalam perjalanan kehidupan ini.

No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/