Saturday, September 30, 2023

Calon Istri Atau Calon Ibu

 



Sama – sama tanpa pasangan setelah sebuah pernikahan. Tapi kesendirian seorang pria yang biasa disebut duda selalu saja berbeda dengan seorang wanita yang disebut single mom. Rasanya… apa ya, menjadi pria dengan anak dan tanpa istri lebih dipuja oleh sebagian orang.

Berbeda dengan wanita yang sendiri meskipunSama-sama tanpa pasangan setelah sebuah pernikahan. Tapi kesendirian seorang pria yang biasa disebut duda selalu saja berbeda dengan seorang wanita yang disebut single mom. Rasanya… apa ya, menjadi pria dengan anak dan tanpa istri lebih dipuja oleh sebagian orang. Berbeda dengan wanita yang sendiri, meskipun secara tanggung jawab dan apapun semua sama. Pria ini juga yang akhirnya menjadi waktu bagiku untuk menguji diri. Namanya Rendi, usianya mungkin lima tahun lebih tua dariku.

Rendi datang ke kantor itu sebagai staff baru. Beberapa kali dia datang terlambat untuk meeting atau sekedar absen. Hingga suatu waktu ada kesempatan aku berbicara dengannya tentang apa yang terjadi. Kenapa dia begitu, aku khawatir itu akan mengancam pekerjaan dan karirnya di perusahaan.

Ternyata dari apa yang Rendi paparkan, dia adalah seorang single dad dengan dua orang putri. Setiap pagi dia perlu mengurus putri-putrinya sebelum berangkat sekolah. Dan saat pulang sekolah putri-putrinya akan tinggal di rumah orang tua Rendi. Bedanya Rendi menjadi single dad karena takdir. Istrinya meninggalkan seorang putri berusia lima tahun dan seorang berusia sembilan tahun. Usia di mana mereka sedang tumbuh berkembang dan ingin perhatian.

Istri Rendi baru saja meninggal tiga bulan lalu. Jadi saat ini sebetulnya kondisi Rendi sedang beradaptasi. Beradaptasi menjadi orang tua tunggal dan kantor baru. Persahabatanku dengan Rendi berjalan dengan baik. Selain karena kami sama-sama orang tua tunggal, kami juga satu departemen di perusahaan.

Aku dan Rendi sering membicarakan pola-pola pengasuhan dan bagaimana memanajemen waktu. Rendi belajar banyak dariku. Maklum saja dalam hal ini aku memang lebih senior darinya. Ini adalah tahun ketujuh perjalananku sebagai ibu tunggal.

Beberapa bulan setelahnya, Rendi meminta waktu khusus dariku. Dia ingin membicarakan sesuatu. Aku pikir pasti tidak jauh dari pekerjaan, yang sering kami diskusikan memang hanya itu. Aku dan Rendi memilih sebuah cafe dekat lobby kantor. Kopi yang menurutku hanya enak dinikmati saat panas saja. Tapi baiklah kami membutuhkan tempat tenang untuk berbicara, bukan masalah apa sajiannya.

Rendi memulai dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Pertanyaan yang selama ini tidak pernah masuk dalam daftar diskusi kami.

“Kenapa kamu belum menikah lagi?”

“Belum bertemu orang yang tepat.”

“Kamu tidak lelah berjalan sendiri?”

“Kadang, tapi kalau lelah ya istirahat saja. Bukan berarti harus mencari bahu untuk bersandar.”

“Tapi kan kamu wanita, secara apapun pasti kamu butuh pria.”

“Mungkin, sebenarnya kenapa kamu menanyakan ini?”

“Maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku?”

Kopi yang baru saja kuteguk rasanya tercekat di tenggorokan. Entah bagaimana pikiran seperti itu muncul di pikiran Rendi. Harus aku akui, Rendi adalah pria yang baik. Religius dan terbukti bahwa dia adalah ayah yang penuh kasih sayang untuk putri-putrinya.

“Beri aku waktu, aku akan mempertimbangkan.”

“Apa kekuranganku yang tidak bisa kamu terima?”

“Lalu?”

“Aku akan penuhi sebanyak yang aku mampu. Untuk menjadi bagian hidupmu, menjadi pasanganmu.”

“Itu saja?”

“Kita akan bahagia bersama dengan ketiga anak kita. Aku akan menjadi imam yang baik untuk membimbingmu.”

Bayangan tentang rumah tangga yang indah, harmonis, dan sakinah berlintasan di kepalaku karena perkataan Rendi. Aku meminta beberapa hari untuk memikirkan sebelum memberi dia jawaban. Setelah hari dimana kami bicara, semua nampak biasa.

Rendi memang bukan tipe lelaki penggoda atau penebar pesona. Hubungan kami seperti layaknya staff dengan staff lainnya. Entah bagaimana Rendi bisa berperilaku begitu. Karena aku pribadi sejak pembicaraan itu beberapa kali mencuri pandang padanya.

Aku mencoba mencari jawaban atas keraguanku. Dan mencoba melihat wajah Rendi lebih banyak, untuk memastikan apakah wajah itu yang aku inginkan. Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir kami, aku meminta Rendi mengatur waktu untuk kami bicara lagi. Rasanya setelah menimbang dan memperhitungkan segala sesuatunya, sekarang aku siap memberi Rendi jawaban.

Sebuah makan malam romantis kami rencanakan. Dan dari seorang teman aku tahu malam ini Rendi telah menyiapkan cincin di sakunya. Cincin bermata biru indah dengan ukiran nama Rendi di dalamnya.

“Ren, terima kasih ya sudah menghormatiku dan menilaiku dengan sangat baik. Setidaknya dari permintaanmu aku tahu bahwa kamu pria yang sungguh menghargai wanita.”

Rendi menatap lekat mataku. Dia menanti atau sebenarnya sudah tahu apa yang ingin kusampaikan.

“Kamu adalah pria yang luar biasa. Sosok ideal yang pasti diinginkan oleh banyak wanita.”

“Terima kasih pujiannya, tapi aku ingin sebuah jawaban.”

“Aku siap menjadi istrimu.”

Sebuah senyuman mengembang di wajahnya.

“Namun setelah aku membayangkan kehidupan kita setelah bersama. Ternyata aku sadar diri dengan kemampuanku. Aku tidak sanggup menjadi ibu dari anak-anakmu.”

Senyuman itu hilang bersama kata-kata terakhirku.

“Aku bukan wanita yang sabar dan telaten dalam mengurus anak Ren.”

“Tapi kamu bisa belajar.”

“Nggak Ren, anak-anakmu butuh seorang ibu yang siap. Yang langsung bisa masuk dan menjadi pengganti bagi ibu mereka. Anak-anakmu bukan tempatku untuk menguji kekuatan. Jangan sampai mereka hancur di masa tumbuhnya karena kekuranganku.”

“Tapi aku sudah memilihmu.”

“Iya aku tahu, aku juga sangat simpati terhadapmu. Tapi hidupku dan hidupmu kan bukan cuma milik kita berdua. Kita punya anak-anak yang menjadi titipan sang pencipta.”

“Jadi kau menolakku?”

Rendi berkata sambil mengeluarkan cincin emas bermata biru yang cantik sekali.

“Kita bisa berteman Ren, aku bersedia juga menjadi teman anak-anakmu. Aku akan mengisi apa yang kurang sebisaku. Tapi untuk tinggal satu kali dua puluh empat jam dengan tiga orang anak yang masih butuh kasih sayang, rasanya aku tidak mampu.”

“Terima kasih setidaknya kamu telah jujur. Kamu benar, aku butuh wanita yang siap untuk menjadi ibu anakku. Bukan sekedar siap menjadi istriku.”

“Kamu akan menemukannya, ALLAH pasti sudah sediakan yang terbaik. Sambil kamu menunggu, nikmati saja perjalananmu sebagai ayah tunggal. Setidaknya masa itu akan dikenang oleh putri-putrimu sebagai bagian manis yang tidak terlupakan di masa mendatang.”

Rendi, mengambil tanganku dan menyematkan cincin itu disana. Aku menatapnya dengan heran.

“Cincin ini bukan pengikat, ini adalah hadiah untuk persahabatan kita. Terima kasih telah mengajariku cara menjadi kuat. Aku harap kita akan sama-sama menemukan pelabuhan dimana kita akan mendarat dan beristirahat. Namun sebelum itu terjadi, kita akan bergandengan untuk saling mengingatkan dan menguatkan.”

Kutatap cincin itu di jariku. Sesungguhnya ada rasa sedih disana, tapi aku tahu ini keputusan terakhir. Aku tidak akan membuat keinginan sesaat menjadi kesedihan yang abadi di hati putri-putri kecil kami. Aku sadar siapa diriku dan apa yang aku mau. secara tanggung jawab dan apapun semua sama. Pria ini juga yang akhirnya menjadi waktu bagiku untuk menguji diri. Namanya Rendi, usianya mungkin lima tahun lebih tua dariku.
Rendi datang ke kantor itu sebagai staff baru. Bebeapa kali dia datang terlambat untuk meeting atau sekedar absen. Hingga suatu waktu ada kesempatan aku berbicara dengannya tentang apa yang terjadi. Kenapa dia begitu, aku khawatir itu akan mengancam pekerjaan dan karirnya di perusahaan.
Ternyata dari apa yang Rendy paparkan, dia adalah seorang single dad dengan dua orang putri. Setiap pagi dia perlu mengurus putri – putrinya sebelum berangkat sekolah. Dan saat pulang sekolah putri – putrinya akan tinggal di rumah orang tua Rendi. Bedanya Rendi menjadi single dad karena takdir. Istrinya meninggalkan seorang putri berusia lima tahun dan seorang berusia sembilan tahun. Usia dimana mereka sedang tumbuh berkembang dan ingin perhatian.
Istri Rendi baru saja meninggal tiga bulan lalu. Jadi saat ini sebetulnya kondisi Rendi sedang beradaptasi. Beradaptasi menjadi orang tua tunggal dan kantor baru. Persahabatanku dengan Rendi berjalan dengan baik. Selain karena kami sama – sama orang tua tunggal, kami juga satu departemen di perusahaan.
Aku dan Rendi sering membicarakan pola – pola pengasuhan dan bagaimana me-management waktu. Rendi belajar banyak dariku. Maklum saja dalam hal ini aku memang lebih senior darinya. Ini adalah tahun ketujuh perjalananku sebagai ibu tunggal.
Beberapa bulan setelahnya Rendi meminta waktu khusus dariku. Dia ingin membicarakan sesuatu. Aku pikir pasti tidak jauh dari pekerjaan, yang sering kami diskusikan memang hanya itu. Aku dan Rendi memilih sebuah cafe dekat lobby kantor. Kopi yang menurutku hanya enak dinikmati saat panas saja. Tapi baiklah kami membutuhkan tempat tenang untuk berbicara bukan masalah apa sajiannya.
Rendi memulai dengan sebuah pertanyaan yang menggelitik. Pertanyaan yang selama ini tidak pernah masuk dalam daftar diskusi kami.
“Kenapa kamu belum menikah lagi?”
“Belum bertemu orang yang tepat”
“Kamu tidak lelah berjalan sendiri?”
“Kadang, tapi kalau lelah ya istirahat saja. Bukan berarti harus mencari bahu untuk bersandar”
“Tapi kan kamu wanita, secara apapun pasti kamu butuh pria”
“Mungkin, sebenarnya kenapa kamu menanyakan ini?”
“Maukah kau menjadi ibu dari anak – anakku?”
Kopi yang baru saja kuteguk rasanya tercekat di tenggorokan. Entah bagaimana pikiran seperti itu muncul di pikiran Rendi. Harus aku akui, Rendi adalah pria yang baik. Regilius dan terbukti bahwa dia adalah ayah yang penuh kasih sayang untuk putri – putrinya.
“Beri aku waktu, aku akan mempertimbangkan”
“Apa kekuranganku yang tidak bisa kamu terima?”
“Lalu?”
“Aku akan penuhi sebanyak yang aku mampu. Untuk menjadi bagian hidupmu, menjadi pasanganmu”
“Itu saja?”
“Kita akan bahagia bersama dengan ketiga anak kita. Aku akan menjadi imam yang baik untuk membimbingmu”
Bayangan tentang rumah tangga yang indah, harmonis dan sakinah berlintasan di kepalaku karena perkataan Rendi. Aku meminta beberapa hari untuk memikirkan sebelum memberi dia jawaban. Setelah hari dimana kami bicara, semua nampak biasa.
Rendi memang bukan tipe lelaki penggoda atau penebar pesona. Hubungan kami seperti layaknya staff dengan staff lainnya. Entah bagaimana Rendi bisa berperilaku begitu. Karena aku pribadi sejak pembicaraan itu bebeapa kali mencuri pandang padanya.
Aku mencoba mencari jawaban atas keraguanku. Dan mencoba melihat wajah Rendi lebih banyak, untuk memastikan apakah wajah itu yang aku inginkan. Setelah beberapa hari dari pertemuan terakhir kami, aku meminta Rendi mengatur waktu untuk kami bicara lagi. Rasanya setelah menimbang dan memperhitungkan segala sesuatunya, sekarang aku siap memberi Rendi jawaban.
Sebuah makan malam romantis kami rencanakan. Dan dari seorang teman aku tahu malam ini Rendi telah menyiapkan cincin di sakunya. Cincin bermata biru indah dengan ukiran nama Rendi di dalamnya.
“Ren, terima kasih ya sudah menghormatiku dan menilaiku dengan sangat baik. Setidaknya dari permintaanmu aku tahu bahwa kamu pria yang sungguh menghargai wanita”
Rendi menatap lekat mataku. Dia menanti atau sebenarnya sudah tahu apa yang ingin kusampaikan.
“Kamu adalah pria yang luar biasa. Sosok ideal yang pasti diinginkan oleh banyak wanita”
“Terima kasih pujiannya, tapi aku ingin sebuah jawaban”
“Aku siap menjadi istrimu”
Sebuah senyuman mengembang di wajahnya.
“Namun setelah aku membayangkan kehidupan kita setelah bersama. Ternyata aku sadar diri dengan kemampuanku. Aku tidak sanggup menjadi ibu dari anak – anakmu”
Senyuman itu hilang bersama kata – kata terakhirku.
“Aku bukan wanita yang sabar dan telaten dalam mengurus anak Ren”
“Tapi kamu bisa belajar”
“Nggak Ren, anak – anakmu butuh seorang ibu yang siap. Yang langsung bisa masuk dan menjadi pengganti bagi ibu mereka. Anak – anakmu bukan tempatku untuk menguji kekuatan. Jangan sampai mereka hancur di masa tumbuhnya karena kekuranganku”
“Tapi aku sudah memilihmu”
“Iya aku tahu, aku juga sangat simpati terhadapmu. Tapi hidupku dan hidupmu kan bukan cuma milik kita berdua. Kita punya anak – anak yang menjadi titipan sang pencipta”
“Jadi kau menolakku?”
Rendi berkata sambil mengeluarkan cincin emas bermata biru yang cantik sekali.
“Kita bisa berteman Ren, aku bersedia juga menjadi teman anak – anakmu. Aku akan mengisi apa yang kurang sebisaku. Tapi untuk tinggal satu kali dua puluh empat jam dengan tiga orang anak yang masih butuh kasih sayang, rasanya aku tidak mampu”
“Terima kasih setidaknya kamu telah jujur. Kamu benar, aku butuh wanita yang siap untuk menjadi ibu anakku. Bukan sekedar siap menjadi istriku”
“Kamu akan menemukannya, ALLAH pasti sudah sediakan yang terbaik. Sambil kamu menunggu, nikati saja perjalananmu sebagai ayah tunggal. Setidaknya masa itu akan dikenang oleh putri – putrimu sebagai bagian manis yang tidak terlupakan di masa mendatang”
Rendi, mengambil tanganku dan menyematkan cincin itu disana. Aku menatapnya dengan heran.
“Cincin ini bukan pengikat, ini adalah hadiah untuk persahabatan kita. Terima kasih telah mengajariku cara menjadi kuat. Aku harap kita akan sama – sama menemukan pelabuhan dimana kita akan mendarat dan beristirahat. Namun sebelum itu terjadi, kita akan bergandengan untuk saling mengingatkan dan menguatkan”
Kutatap cincin itu di jariku. Sesungguhnya ada rasa sedih disana, tapi aku tahu ini keputusan terakhir. Aku tidak akan membuat keinginan sesaat menjadi kesedihan yang abadi di hati putri – putri kecil kami. Aku sadar siapa diriku dan apa yang aku mau.

Salam Sayang
Ans

No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/