"Ok Ta, kita ketemu jam lima sore di Ambasador ya,” janji yang kubuat dengan sahabatku, Ita. Setelah sekian purnama kami merencanakan untuk nonton bersama dan selalu gagal. Kesibukan di kota sebesar Jakarta dengan debitan aktivitas yang luar biasa. Meskipun satu perusahaan, namun dengan divisi yang berbeda sulit bagi kami mengatur waktu untuk keluar bersama dan bercengkerama.
Terlebih Ita adalah staff keuangan yang setiap hari selalu tinggal di kantor dengan pekerjaan dan kertas – kertasnya. Sementara aku adalah staff divisi pengembangan yang setiap hari berkeliaran untuk menemui klien dan kolega perusahaan. Jadilah kami bertemu sesekali saja di waktu pagi.
Namun begitu, Ita tetaplah sahabat baikku. Kami berada di universitas yang sama sewaktu masih menempuh pendidikan. Dan karena informasi dari Ita pula aku berada di perusahaan ini. Aku dan Ita memang seumuran, menjelang empat puluh. Aku dan Ita sangat dekat. Aku tahu siapa pria yang pernah dan sedang dekat dengan Ita. Dan Ita pun tahu sedikit banyak lingkaranku.
Hingga saat ini Ita belum juga memutuskan untuk menikah. Dengan berbagai alasan yang tentu itu semua kembali pada kesiapan pribadinya. Dan aku, aku bahkan sudah bercerai dua belas tahun lalu. Dan selama itu pula aku memutuskan untuk menjadi Ibu tunggal dari putriku satu – satunya.
Seperti kebanyakan seorang staff keuangan, Ita berkaca mata tebal dan berpenampilan selalu rapih. Sesekali memakai sepatu hak tinggi. Namun dalam hitungan menit tiba di kantor akan berubah menjadi sendal jepit. Dibalik semua itu, Ita adalah wanita yang menarik dan bersahabat dengan semua orang. Tuntutan kerja yang tidak menjadikan penampilan salah satu unsur penting memang membuat banyak staff dibalik meja tampil datar dan seadanya.
Lalu aku? Aku adalah staff pengembangan. Dari slip gaji bulanan disana tertuliskan 'tunjangan penampilan'. Penampilanku dibiayai oleh perusahaan karena memang begitu tuntutan. Baju pendek, sepatu lebih dari sepuluh senti adalah seragam wajibku.
Bukan… bukan karena aku menjadikan penampilan senjata dalam memenangkan hati kolega. Namun semata karena aku membawa nama baik perusahaan. Siapa dan bagaimana aku menampilkan diri begitulah orang akan melihat perusahaan yang aku wakili.
Dan hari ini aku bertemu seorang kolega dari perusahaan lain. Sebetulnya kami sudah lama saling terkoneksi dengan email, telepon, dan surat menyurat. Namun baru hari ini aku mendapatkan kesempatan untuk temu darat dengannya. Karena ada berkas yang memang harus ditandatangani secara langsung oleh beliau sebagai perwakilan perusahaan.
Dan aku ingat hari ini ada janji dengan Ita jadi tempat meeting yang semula di Semanggi aku pindahkan ke Ambasador. Sebagai seorang yang memegang wewenang atas tanda tangan beliau pun mulai menunjukkan ulah. Alasan pemindahan tempat membuatku harus mengirim sopir kantor. Untuk menjemput dan membawanya ke tempat dimana kami akan menandatangani dokumen bersama. Sebuah restoran yang dipesan olehku dengan ruangan privasi. Dan aku menginformasikan posisiku pada Ita, agar dia bisa menghampiriku jika sudah tiba di Ambasador.
Ketika dia datang, aku merasa orang ini bukan sosok asing lagi. Sepertinya aku pernah melihat dia. Aku mencoba mengingat siapa dia. Melihat penampilannya mungkin kami seumuran.
Satu per satu dokumen selesai kami tanda tangani dan obrolan seputar pekerjaan pun selesai. Kami meneruskan dengan makan dan minum kopi bersama di tempat yang sama.
Akhirnya, sambil menunggu kebenaran, Ita berusaha mengulur – ulur waktu dalam mempersiapkan pernikahannya. Dan sekarang, pria yang sedang dicurigai sahabatku itu ada di hadapanku.
Agung yang diakhir pertemuan hanya bisa terdiam. Dua bulan kemudian aku mendengar hubungan Ita dan Agung kandas. Rencana pernikahan batal dan barulah aku menceritakan tentang hari ini kepada Ita.
Sebuah kekonyolan manusia ketika dia membuang emas demi berlian dan membuang berlian karena sepotong kaca. Seringkali terjadi karena keserakahan dan tipu daya dunia. Silau yang sama tapi arti yang berbeda.
Salam sayang Ans
No comments:
Post a Comment