Saturday, September 30, 2023

Pinjam Pacar



"Ok Ta, kita ketemu jam lima sore di Ambasador ya,” janji yang kubuat dengan sahabatku, Ita. Setelah sekian purnama kami merencanakan untuk nonton bersama dan selalu gagal. Kesibukan di kota sebesar Jakarta dengan debitan aktivitas yang luar biasa. Meskipun satu perusahaan, namun dengan divisi yang berbeda sulit bagi kami mengatur waktu untuk keluar bersama dan bercengkerama.

Terlebih Ita adalah staff keuangan yang setiap hari selalu tinggal di kantor dengan pekerjaan dan kertas – kertasnya. Sementara aku adalah staff divisi pengembangan yang setiap hari berkeliaran untuk menemui klien dan kolega perusahaan. Jadilah kami bertemu sesekali saja di waktu pagi.

Namun begitu, Ita tetaplah sahabat baikku. Kami berada di universitas yang sama sewaktu masih menempuh pendidikan. Dan karena informasi dari Ita pula aku berada di perusahaan ini. Aku dan Ita memang seumuran, menjelang empat puluh. Aku dan Ita sangat dekat. Aku tahu siapa pria yang pernah dan sedang dekat dengan Ita. Dan Ita pun tahu sedikit banyak lingkaranku.

Hingga saat ini Ita belum juga memutuskan untuk menikah. Dengan berbagai alasan yang tentu itu semua kembali pada kesiapan pribadinya. Dan aku, aku bahkan sudah bercerai dua belas tahun lalu. Dan selama itu pula aku memutuskan untuk menjadi Ibu tunggal dari putriku satu – satunya.

Seperti kebanyakan seorang staff keuangan, Ita berkaca mata tebal dan berpenampilan selalu rapih. Sesekali memakai sepatu hak tinggi. Namun dalam hitungan menit tiba di kantor akan berubah menjadi sendal jepit. Dibalik semua itu, Ita adalah wanita yang menarik dan bersahabat dengan semua orang. Tuntutan kerja yang tidak menjadikan penampilan salah satu unsur penting memang membuat banyak staff dibalik meja tampil datar dan seadanya.

Lalu aku? Aku adalah staff pengembangan. Dari slip gaji bulanan disana tertuliskan 'tunjangan penampilan'. Penampilanku dibiayai oleh perusahaan karena memang begitu tuntutan. Baju pendek, sepatu lebih dari sepuluh senti adalah seragam wajibku.

Bukan… bukan karena aku menjadikan penampilan senjata dalam memenangkan hati kolega. Namun semata karena aku membawa nama baik perusahaan. Siapa dan bagaimana aku menampilkan diri begitulah orang akan melihat perusahaan yang aku wakili.

Dan hari ini aku bertemu seorang kolega dari perusahaan lain. Sebetulnya kami sudah lama saling terkoneksi dengan email, telepon, dan surat menyurat. Namun baru hari ini aku mendapatkan kesempatan untuk temu darat dengannya. Karena ada berkas yang memang harus ditandatangani secara langsung oleh beliau sebagai perwakilan perusahaan.

Dan aku ingat hari ini ada janji dengan Ita jadi tempat meeting yang semula di Semanggi aku pindahkan ke Ambasador. Sebagai seorang yang memegang wewenang atas tanda tangan beliau pun mulai menunjukkan ulah. Alasan pemindahan tempat membuatku harus mengirim sopir kantor. Untuk menjemput dan membawanya ke tempat dimana kami akan menandatangani dokumen bersama. Sebuah restoran yang dipesan olehku dengan ruangan privasi. Dan aku menginformasikan posisiku pada Ita, agar dia bisa menghampiriku jika sudah tiba di Ambasador.

Ketika dia datang, aku merasa orang ini bukan sosok asing lagi. Sepertinya aku pernah melihat dia. Aku mencoba mengingat siapa dia. Melihat penampilannya mungkin kami seumuran.

Satu per satu dokumen selesai kami tanda tangani dan obrolan seputar pekerjaan pun selesai. Kami meneruskan dengan makan dan minum kopi bersama di tempat yang sama.

“Mbak, satu dokumen lagi akan saya bawa dan tanda tangani setelah menghitung seluruh harga.”
“Apa masalahnya, pak? Saya rasa sebelum hari ini kita sudah tawar menawar via email dan sepakat tentang harga.”
“Betul, Mbak, tapi saya akan tinjau kembali.”
Aku melihat gelagat seseorang sedang menunjukkan arogansi kekuasaannya. Namun, project ini sudah di ujung penantian. Setelah berbulan – bulan aku melakukan negosiasi, akhirnya kesepakatan ditemukan. Mungkin aku harus bersabar sedikit lagi, baiklah aku menguatkan hati.

“Jadi, Mbak adalah seorang single mom?”
“Maaf, pak?”
Aku terkejut dengan pembicaraan yang dia sampaikan.
“Ah… nggak apa kan kalo kita bicara lebih pribadi? Saya juga seorang single kok, meskipun sudah tidak segelan.”
Dia mengakhiri candaannya yang tidak lucu dengan tawa.
“Maaf, Pak, saya tidak tertarik membicarakan hal – hal pribadi. Lagi pula dari mana Bapak mendapatkan info pribadi tentang kehidupan saya?”
“Dari sopir kantor, Mbak, yang tadi menjemput saya.”
Mendengar ini, aku langsung memikirkan lakban di meja kerjaku. Lain kali jika mengutus seorang sopir bersama klien, aku harus memastikan untuk mengunci rapat mulutnya.

“Menurut saya, bapak tidak muda lagi. Seharusnya Bapak juga sudah punya anak istri, bukan?”
“Saya dalam rencana menikah dengan kekasih saya. Namun dia selalu saja sibuk dengan laporan keuangan. Untuk bertemu dan bersama pun sulit sekali.”
Ingatanku langsung menyambar nama Ita. Dan memang benar, pria ini adalah pria yang pernah Ita tunjukkan padaku fotonya beberapa waktu lalu. Menurut Ita, mereka memang sudah merencanakan pernikahan. Namun dengan banyaknya informasi tentang sang kekasih yang berseliweran membuat Ita ragu.

Akhirnya, sambil menunggu kebenaran, Ita berusaha mengulur – ulur waktu dalam mempersiapkan pernikahannya. Dan sekarang, pria yang sedang dicurigai sahabatku itu ada di hadapanku.

“Lalu, apa kaitannya Bapak menanyakan status saya?”
“Apakah kamu tidak tertarik menikah lagi? Saya lihat kamu cukup cantik, pintar, dan seksi.”
Kata terakhir dia ekspresikan dengan meliuk – liukan tangannya di depan muka. Tiba – tiba rasa mual dengan sangat menyergap lambungku. Aku berharap aku tidak perlu menumpahkan seluruh isinya di hadapan pria ini.

“Jika iya, lalu apa kepentingan Bapak disitu?”
“Saya tertarik denganmu. Rencana pernikahan dengan kekasihku memang sudah matang. Namun jika peluang mendapatkan yang lebih baik di depan mata, kenapa juga harus dilewatkan.”
Kulihat dari belakang punggung pria ini, sahabatku Ita sedang berjalan menghampiri kami. Aku berdiri, dan pria di hadapanku semakin bahagia melihatku secara keseluruhan. Lalu ku lambaikan tangan ke arah belakang punggungnya.

“Hai Ta…."
“Hai.”
Ita menengok ke arah pria itu untuk memperkenalkan diri. Sedetik kemudian, ekspresi bahagia muncul di wajahnya.
“Ternyata klienmu adalah Agung. Eh, aku sudah pernah kasih lihat kamu foto Agung kan ya?”
“Iya, Ta, dan aku sudah perkenalkan diri juga ke dia kalau aku sahabatmu.”
“Wew.. jadi kita nggak perlu kenal – kenalan lagi.”
“Oh, iya Ta. Urusan meeting dengan Agung sudah selesai. Terima kasih ya udah minjemin pacarmu buat ngelancarin kerjaanku. Dan aku rasa satu berkas yang tersisa untuk ditandatangani besok sudah bisa dikirimkan. Begitu kan, Pak?”
Tanyaku sambil mengedipkan sebelah mata di depan Ita. Ita yang tidak tahu apa – apa hanya tertawa dan mulai bergelayut manja di lengan kekasihnya.
“Ok deh Ta, hari ini aku rasa agendanya lebih baik kamu nonton sama Agung aja. Kita bisa nonton lagi minggu depan. Ada film baru yang lebih kece.”
“Serius? Ihh seneng… Mau hangout malah jadi kencan.”
Ita tertawa bahagia. Aku menatap Agung penuh dengan ancaman. Sebelum akhirnya berlalu meninggalkan kebahagiaan sahabatku.

Agung yang diakhir pertemuan hanya bisa terdiam. Dua bulan kemudian aku mendengar hubungan Ita dan Agung kandas. Rencana pernikahan batal dan barulah aku menceritakan tentang hari ini kepada Ita.

Sebuah kekonyolan manusia ketika dia membuang emas demi berlian dan membuang berlian karena sepotong kaca. Seringkali terjadi karena keserakahan dan tipu daya dunia. Silau yang sama tapi arti yang berbeda.

Salam sayang Ans

No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/