Saturday, September 30, 2023

Begitukah Cinta?



Sungguh sayang, di usianya yang masih sangat muda, dia menjadi penjaja cinta. Setiap orang punya cara untuk bertahan hidup, bukan hanya karena gaya hidup, bahkan untuk sesuap nasi seringkali harus mengesampingkan harga diri.

Pekerjaanku sebagai Account Executive di sebuah perusahaan konstruksi membawaku seringkali keluar masuk café dan restoran. Bukan hanya sekedar meeting, namun juga berbincang dengan beberapa teman dan kolega. Beberapa pelayan café langganan bahkan menghafal dengan baik wajahku.

Hari itu aku sebenarnya sedang dalam janji untuk meeting dengan seorang decision maker salah satu project. Namun karena beberapa hal, akhirnya setelah satu jam menunggu dia pun batal hadir. Dan hari itu hujan turun dengan derasnya. Aku duduk di sebuah café yang menghadap ke arah taman besar gedung perkantoran.

Rasanya seperti perpaduan yang sempurna antara laptop, kopi, hujan, dan lagu-lagu merdu dari café tersebut. Aku pun enggan beranjak. Biarlah klienku batal hadir, setidaknya aku bisa menikmati suasana sejenak. Lalu seorang staff café datang membawakan cemilan pesananku.

“Mbak ini croissant-nya.”
“Thanks ya.”
“Mbak, ada yang mau kenalan.”
“Oh, siapa?”
“Itu pria yang duduk di sudut.”
“Apa aku mengenalinya atau dia mengenalku?”
“Dia bilang dia sering melihat mbak duduk di sini dan ingin kenalan. Itu saja sih pesannya.”

Sejenak kupikir memang juga, jika orang yang sering berlalu-lalang di café ini pasti dengan mudah menghafalku. Karena aku selalu duduk di kursi yang sama dan pesanan menu yang sama.

“Ok, persilahkan dia ke mejaku.”
Beberapa langkah staff café berlalu dan menuju meja pria itu. Sedikit kucuri pandang, nampaknya bukan pria Indonesia.

“Hai.”
Sebuah tangan kekar terulur di depan wajahku. Aku berdiri dan menarik kursiku ke arah belakang.

“Halo.”
“Terima kasih ya sudah memberiku kesempatan untuk berkenalan.”
Aku membalas dengan senyuman.

“Silahkan duduk.”
Aku mempersilahkan pria itu untuk duduk dan aku pun kembali ke kursiku.

“Aku Raj dari India.”
“Hai Raj, dan aku Anna. Ini negaraku.”
Raj tersenyum dengan gurauan kecilku. Nampaknya Raj adalah orang India dari ras tertentu. Terlihat dari kulitnya yang putih dan wajahnya yang tampan. Berbeda dengan beberapa pria India yang pernah menjadi kolega kerjaku. Biasanya mereka berkulit agak gelap dan terlihat sedikit menakutkan. Setidaknya itu dalam penilaianku.

“Anna, aku sering melihatmu di café ini. Beberapa kali dengan beberapa orang. Aku rasa ini tempat favorite-mu.”
“Iya, bagiku lebih menyenangkan membicarakan pekerjaan dengan klien di luar ruang kantor. Dan café ini favorite-ku karena letaknya di tengah dan tidak terlalu jauh dari kantorku.”

“Dan keberuntungan bagiku karena akhirnya aku bisa mengenalmu disini.”
“Dan kamu, apa alasanmu untuk sering berada di café ini? Apa pekerjaanmu?”
“Aku seorang instruktur di tempat fitness. Café ini adalah salah satu tempat untukku melepas penat.”
“Melepas penat? Bukankah gym adalah tempat yang menyenangkan? Dimana kamu bisa sehat sekaligus melihat wanita – wanita seksi disana.”
Kuputar bola mataku ke atas dan membuat Raj tersenyum.

“Setiap orang punya keinginan dan pencapaian hidupnya sendiri, Anna.”
“Ya, aku setuju. Dimana keluargamu? Aku rasa di usiamu kamu harusnya sudah menikah. Meskipun aku tidak tahu angka pasti, namun sepertinya kamu bukan pria muda lagi.”
Raj sedikit tertawa dengan mengepalkan tangan di depan mulutnya.

“Usiaku tiga puluh lima. Dan jujur aku belum pernah berkeluarga. Lima tahun lalu aku datang ke Indonesia untuk sebuah pekerjaan. Sampai akhirnya perusahaan itu bangkrut dan aku kehilangan pekerjaanku.”
“Tidak memutuskan kembali ke India?”
“India bukan negara yang mudah. Aku tidak punya lagi orang tua atau saudara disana. Bagiku India dan Indonesia sama – sama negara asing. Karena aku masih punya beberapa waktu izin tinggal, jadi ya sudah aku berusaha untuk hidup sebisaku di negara ini.”
“Aku rasa bukan hal sulit mendapakan pekerjaan untuk ukuran pria secerdas dirimu.”
“Kamu tahu Anna, hidup itu tidak pernah berpihak pada kecerdasan semata. Terlebih keberuntungan, dia tidak akan peduli berapa tinggi IQ mu.”
Candaan Raj yang benar membuatku tergelak.
“Ok, lalu.”
“Aku mulai kehabisan uang. Membayar apartemen serta berbagai kebutuhan yang harus kupenuhi. Bahkan beberapa kali untuk makan aku harus pura – pura bertamu ke rumah teman. Sambil mencari kemungkinan mendapatkan pekerjaan.”

Tidak aku bayangkan ada seorang asing yang hidupnya begitu sulit di negara makmur ini.
“Sampai akhirnya seseorang menawariku untuk menjadi pekerja di tempat fitness. Salah satu faktornya adalah tubuhku yang atletis.”
Pernyataan terakhir benar. Aku rasa Raj memiliki tinggi hampir seratus delapan puluh sentimeter dengan berat badan yang ideal.
“Akhirnya… Dan seharusnya semua masalahmu sudah selesai sekarang.”
“Tidak juga, staff di tempat fitness bukan pekerjaan dengan gaji yang besar. Dan hal lain adalah begitu banyak godaan.”
“Godaan?”
“Iya, Godaan dari wanita bersuami dengan uang yang berlebihan.”
“Bersuami?”
Raj mengangguk dengan serius.
“Kenapa kamu heran?”
“Aku pernah mendengar tentang pria penggoda, atau wanita yang menggoda untuk uang. Tapi wanita menggoda untuk memberi uang? Tidak masuk akal.”

Kutepiskan tanganku di depan Raj.

“Kamu terlalu polos atau terlalu nyaman di dalam cangkang?”
Raj mengatakan dengan nada sinis dan sedikit bercanda. Aku memelototkan mata ke arah Raj.
“Apa maksudmu?”
“Ayolah kita hidup di zaman dimana kebutuhan bukan hanya uang. Bahkan kepuasan ranjang menjadi keharusan. Banyak wanita – wanita kaya itu memiliki suami yang sudah cukup usia. Tidak lagi menyenangkan bagi mereka. Atau bahkan mereka ingin orang lain untuk memenuhi fantasinya. Saat bersama suami mereka tetap saja wanita baik dan ibu anak – anaknya.”

Aku terkesima dengan cerita Raj.
“Apakah dunia sudah segila itu Raj?”
“Dunia sudah serusak itu Anna, salah satu yang membuatku berani untuk datang ke mejamu.”
“Maksudmu?”
“Setelah beberapa lama akhirnya aku pun tergoda dengan salah satu tawaran besar wanita itu. Dan sekarang Instruktur fitness hanyalah pekerjaan sambilan. Ada hal lain yang bagiku lebih menyenangkan.”
Ingin rasanya aku bergulingan di tengah hujan setelah tahu siapa pria yang di hadapanku ini.
“Tapi kamu boleh tenang, aku datang ke mejamu bukan untuk uang. Namun aku sungguh tertarik dengan anggun dan cantikmu. Dan jika kamu membutuhkanku, aku tidak akan menerima sepeser pun uang darimu.”
“Gini ya Raj, aku sudah dua belas tahun hidup sebagai ibu tunggal. Dan sedikit pun tidak pernah terbayang untuk masuk ke dalam dunia yang menurutmu gila. Mungkin kelihatan terlalu idealis, tapi inilah diriku yang kubangun sebagai contoh bagi putri tunggalku.”

Aku menutup laptop dan memasukkan ke dalam tas. Rasanya suasana indah hujan yang sejak tadi kunikmati mendadak pergi entah kemana. Setelah berpamitan dan sedikit kata perpisahan aku meninggalkan Raj yang masih sibuk dengan segelas bir di gelasnya.

Kesulitan adalah salah satu warna yang menyusun pelangi dalam setiap takdir hidup manusia. Namun susunannya kita sendiri yang tentukan. Dunia sudah lama membuktikan bahwa tidak ada yang abadi. Suka duka semua datang pergi, namun jika manusia memilih untuk menerima duka dengan caranya sendiri maka itu adalah pilihan.

Salam sayang
Ans

No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/