Saturday, September 30, 2023

Ayam Teriyaki Lengkuas

Gambar dibuat dengan AI generate

Ya udah, aku bagian makan lengkuasnya aja deh...
Setiap pagi, perdebatan selalu jadi sarapan antara aku dan mamah tentang daftar menu hari ini. Mamahku selalu bingung mau masak apa dan menanyakan padaku untuk mendapat kebingungan yang sama.
“Kamu pengen makan apa hari ini?”
Selain karena sekarang ini aku memang sedang lebih ketat dalam memilih makanan, sejujurnya aku juga sudah kehabisan ide tentang menu harian.
Sebetulnya aku dan anakku bukan orang yang terlalu pemilih atau sulit dalam hal makanan. Namun Mamah selalu saja sulit memilih menu.
Aku melihatnya sebagai salah satu cara Mamah menyayangiku dan putri tunggalku. Beliau selalu berusaha memasak sesuai dengan apa yang kami inginkan di hari itu.
“Hari ini Mamah mau masak ayam teriyaki saja, tapi mamah males makan ayamnya jadi nanti banyakin saja bawang bombaynya. Jadi Mamah bisa makan bawang bombaynya.”
Tumben Mamah tidak bertanya pendapatku dulu. Tapi tidak apa, satu hal aku tidak perlu menjawab pertanyaan rutin hari ini. Dan ringan saja aku menyahut,
“Ya udah, ayam teriyaki, Nisa ayamnya, Mamah bawang bombaynya, ntar aku lengkuasnya. Ha... ha... ha..."
Tawa pun mengiring pagi kami. Setelah pembicaraan kecil ini, kami pun memulai aktivitas.
Mamahku ke tukang sayur dekat rumah, aku mulai membuka toko, dan putriku menikmati pagi bersama teman di jalanan depan.
Pembicaraan kecil, singkat, namun menjadi mood booster hari ini. Membuat apapun yang aku lihat hari ini terasa indah. Iya, kami memang sudah memilih untuk bahagia dengan apapun yang ada saat ini.
Ketika banyak orang bahkan mempertanyakan keputusan-keputusanku,
“Kenapa bercerai?”
“Kenapa nggak balikan aja sama suamimu?”
“Kenapa nggak nikah lagi, udah terlalu lama 12 tahun sendiri.”
“Kenapa nggak kerja di kantor lagi?”
“Kenapa... kenapa dan kenapa???”
Aku tetap berjalan dengan keyakinan bahwa hanya akulah yang tau mana yang terbaik untuk diriku. Aku melakukan dengan kesadaran dan bertanggung jawab dengan segala resikonya.
Hanya aku yang tahu kelebihan dan kekuranganku dalam menghadapi perjalanan hidup.
Dan aku rasa tidak perlu menjelaskan pada dunia apa-apa yang aku putuskan dan apa-apa yang telah aku lakukan atas keputusan itu.
Secara jujur, banyak orang yang tidak berani mengambil keputusan karena mereka selalu ingin berada di zona nyaman. Dan lebih lagi, mereka takut dengan kemungkinan yang akan mereka hadapi di luar lingkaran tempat dimana selama ini mereka berada.
Seperti tadi malam, kejadian yang sebetulnya tidak pernah aku pikirkan akan terjadi.
Malam tadi, saat aku sedang mencoba menyelesaikan penulisan bukuku, entah kenapa tiba-tiba saja semua kata menghilang dari kepala.
Semua yang aku tuliskan serasa tidak pas untuk mendarat dengan selamat di layar komputer. Sampai bosan, aku menekan tombol backspace. Akhirnya, aku putuskan untuk berhenti dan keluar dari pagar rumah.
Malam hampir larut dan menjelang tengah. Aku berdiri menatap jalan yang kosong, sepi, temaram lampu di sisi kanan kiri bersatu padu dengan hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan.
Udara yang tenang dan penuh kelembutan sang malam. Lalu sayup-sayup aku mendengar isakan tangis.
Dalam hatiku berpikir,
“Aduh, kayanya malam ini bakalan ketemu mbak kunti lagi.”
Karena memang sudah beberapa kali aku bertemu makhluk yang satu ini. Baik sengaja atau tidak sengaja. Baik jelas ataupun samar.
Aku sudah waspada, kucari dari mana arah suara berasal. Ketika aku berjalan ke arah kanan rumahku dan melewati satu rumah kosong yang sedang dalam proses dibangun.
Sampailah aku ke rumah tetangga yang berjarak satu rumah dengan rumahku.
Aku melihat dari jauh sesosok wanita duduk di depan rumahnya. Agak jauh dari pintu rumahnya dan hampir di tepian jalan.
Aku mengamati dari jauh, mencoba mengenali sosok siapakah itu? Dan ternyata itu memang sosok ibu tetangga yang biasa aku panggil dengan sebutan "tante."
“Tante, sedang apa? Kok di luar?”
Si tante pun terkejut. Mungkin sebetulnya dia sedang mencari ruang untuk dirinya sendiri dan meluapkan segala emosinya. Bertemu dengan aku di tengah malam dalam kondisi seperti ini tentulah bukan yang tante itu harapkan.
Namun sebagai tetangga, tentu saja kami tidak bisa mengabaikan satu sama lain ketika sudah benar-benar bertemu.
“Eh, iya Mbak, di dalam gerah ini jadi cari angin di luar.”
Si tante berdiri dan membuka pintu pagar. Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya.
“Si Om lagi nggak di rumah, Tan?”
Dijawabnya,
“Iya lagi dinas ke Tangerang. Besok pagi dia pulang. Anak-anak juga sudah tidur. Saya nggak nyangka kalau di luar saat malam tuh enak banget ya.”
Sepertinya si tante ingin menyampaikan sesuatu. Suaranya bergetar menahan tangis. Aku memberinya ruang untuk menarik nafas. Aku tidak mengucapkan apapun. Hanya sedikit senyuman.
Beberapa menit berlalu dan kami hanya duduk dalam diam. Akhirnya, aku putuskan untuk memulai sebuah pembicaraan yang tentang diriku sendiri,
“Saya sering merasakan sesaknya hidup. Kita ini kan manusia biasa. Ada saatnya kita rapuh dan jatuh, ada juga saatnya kita merasa baik-baik saja. Ketika saya rapuh, maka saya akan menerima kerapuhan itu dan menunjukkan hanya kepada ALLAH saja.
Malam-malam hening dalam tangis, sudah menjadi bagian saat saya ingin lebih dekat dengan Sang Kuasa dan semesta. Berada di luar rumah saat malam, melihat taburan bintang dengan hembusan angin sering saya lakukan.
Tapi saya rasa bukan hal yang biasa Tante lakukan. Jika berbagi dengan saya bisa membuat Tante lebih baik, saya akan memberikan telinga dan hati saya malam ini untuk Tante.”
Si tante menangkap pesanku dengan sangat baik. Rupanya kata-kataku begitu menyentuh di hatinya. Dan dia mulai menangis dengan deras dan lama.
Aku tidak memeluknya atau merangkulnya. Aku merasa canggung untuk melakukan hal-hal seperti ini. Karena menurut pengalamanku, dipeluk malah membuat kita merasa ingin menangis lebih banyak.
Setelah puas dengan tangisnya, si Tante pun akhirnya berhasil mengeluarkan kata-kata.
“Rasanya jika bukan demi anak-anak saya sudah ingin meninggalkan suami saya”.
Pernyataan si Tante ini tidak membuatku terkejut. Memang masalah besar yang dihadapi seorang wanita yang terikat dalam pernikahan biasanya memang soal suaminya.
Yang membuatku agak kaget adalah, selama ini aku melihat keluarga mereka baik-baik saja. Suaminya seorang yang sangat penyayang pada keluarga.
Seringkali si Tante ini menceritakan kebiasaan suaminya dengan penuh rasa bangga di depan Ibu tetangga yang lain,
“Suami saya sebelum pulang kerja pasti tanya tuh, mamah pengen apa? Dan pasti dibeliiin.”
Atau hal lain ketika aku melihat mereka akan pergi bersama, suaminya dengan penuh perhatian membukakan pintu untuk istrinya.
Hubungan suaminya dengan anak-anak pun kelihatan baik-baik saja.
Sepotong kata yang hampir tidak terdengar keluar dari mulutku,
“Kenapa, Tan?”
Si tante kelihatan sangat gelisah untuk membagi ceritanya.
“Suami saya memiliki kelainan dengan hasrat berlebihan.” Selesai mengatakan ini, tangisnya langsung meledak. Sekali lagi aku biarkan si Tante menangis sampai puas. Lalu dia melanjutkan ceritanya,
“Suami saya tidak mau mengerti apakah saya sedang dalam mood atau tidak, apakah saya siap atau tidak bahkan tidak mau tahu ketika saya datang bulan. Dia hanya memberi saya libur tiga hari ketika saya datang bulan.”
Si Tante melanjutkan tidak lagi dengan tangisan, namun dengan nada marah dan emosi,
“Dia bahkan tidak peduli ketika saya sedang memasak, melakukan pekerjaan lain. Dia akan meminta saya stop dan masuk ke kamar jika hasratnya sedang datang. Jika dia libur maka bisa tiga atau empat kali dalam sehari. Jika saya tidak bersedia pun dia akan tetap memaksa tanpa peduli keadaan saya.
Dia bilang, kamu hak saya, dan saya tidak butuh perasaanmu, aku hanya butuh tubuhmu. Daripada aku mencari wanita lain di luar sana. Lebih baik kamu melayaniku dengan baik.”
Aku menghela nafas panjang...
Ya ALLAH... Kenapa harus malam ini aku mendengar semuanya. Aku sedang mencari ide untuk tulisanku dan kejadian ini yang aku dapat.
Mungkinkah besok aku akan menulis tentang ini? (Dan akhirnya saya memang menulis tentang ini)
Aku mencoba melihat dari sisi lain, ini mungkin salah satu yang disebut dengan penyakit kejiwaan.
“Coba ajak bicara, Tan, dan jika memungkinkan bisa diajak ke psikiater untuk menyelesaikan masalah.”
Si Tante melihatku,
“Saya juga bukan orang bodoh, saya tahu itu kelainan. Saya sudah meminta padanya untuk konsultasi tapi dia menolak dan menurut dia, itu bukan sebuah masalah.”
Aku menelan ludah. Sungguh masalah yang aku tidak punya ide apa yang harus kukatakan,
“Lalu bagaimana, Tan?”
Si Tante pun sama seperti sudah kehabisan kata-kata.
“Dulu dengan tabiatnya yang seperti ini saya masih bisa bertahan. Saya muda dan penuh energi. Tapi sekarang setelah 17 tahun pernikahan kami. Saya sudah mulai tua, beberapa tahun terakhir ini begitu menyiksa buat saya. Saya serasa hidup di dalam neraka. Saya merasa diperlakukan tidak terhormat oleh suami saya sendiri. Jika saya melepaskan diri darinya, lalu bagaimana anak-anak. Menjadi janda di usia saya yang sudah hampir empat puluh lima tahun. Apa yang bisa saya lakukan. Saya tidak punya pendidikan cukup dan saya terbiasa hidup bergantung pada suami.”
Aku semakin kehabisan kata-kata untuk menyertai si Tante.
Karena memang apapun yang aku sarankan belum tentu akan membuat si Tante merasa nyaman. Semuanya kembali kepada si Tante, mana yang ingin dijalani.
Banyak wanita-wanita yang hidup seolah mereka tidak memiliki pilihan selain menjalani dan berharap keadaan akan membaik pada akhirnya.
Tapi menurutku, kita semua punya pilihan. Mana yang akhirnya kita jalani itu tergantung seberapa berani kita mengambil tanggung jawab atas pilihan itu.
Si Tante secara keuangan pastilah dia bahagia, tidak kekurangan. Secara status lengkap, memiliki suami yang penyayang dan rumah tangga yang kelihatan bahagia. Resiko yang dia ambil adalah memaksa hati dan batinnya untuk mengikuti perilaku menyimpang dari suaminya.
Jika si Tante memilih berpisah, maka dia akan membebaskan hati, jiwa, dan perlahan menemukan kebahagiaan sejati dalam dirinya. Resikonya dia menjadi tidak punya suami dan harus mandiri secara apapun juga.
Aku pernah ada si persimpangan itu dua belas tahun lalu. Meskipun dengan jenis masalah yang berbeda. Namun dalam kondisi yang sama, keadaan memintaku untuk berani mengambil sebuah langkah dan pilihan.
Dan aku telah memilih jalanku hari ini. Aku bahagia dengan segala resiko atas pilihan itu.
Hari ini candaan tentang Ayam Teriyaki bersama Mamah dan putriku pun sudah cukup membuat bahagia dan menjadi mood booster pagi.
Hal yang berbeda tentu dengan apa yang mungkin dipikirkan oleh si Tante. Jangankan sekedar pembicaraan Ayam Teriyaki, "warkop DKI" pun mungkin akan sulit membuatnya tersenyum.
Kebahagiaan yang hadir karena pilihan di masa lalu. Sesulit apapun jalan yang harus dilewati pada masa itu. Nyatanya semua kehidupan ini selalu ada saja yang harus kita tanggung sebagai bentuk keinginan kita.
Bahkan jika kita tidak memilih pun takdir akan memilihkan untuk kita. Sebagai manusia biasa, berpikir dengan sederhana saja untuk membuat jiwa tetap bisa bernafas dengan lega.
Percaya saja bahwa hidup selalu menemukan jalan terbaiknya.

Salam sayang
Ans


No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/