Saturday, September 30, 2023

Berbeda Untuk Bersama

Gambar dibuat dengan AI generate

Tomi berlari dari ruang HRD dan memelukku, di depan semua orang. Aku pun sebenarnya malu dan bingung dengan apa yang terjadi.

“Sekarang aku siap menikahimu!”

Dengan teriakan kencang berlogat Batak, Tomi mengatakan di depan semua orang, yang kemudian disambut oleh tepuk tangan. Meskipun aku bingung, namun bukan waktu tepat untuk bertanya di tengah semua orang. Aku hanya senyum–senyum, tanpa aku tahu kenapa aku harus tersenyum.

Tomi kembali memelukku dengan erat. Ya sudahlah aku pasrah, aku juga tidak mau Tomi malu di depan teman–temannya. Sampai tiba waktu makan siang. Kami biasanya makan bersama di food court gedung kantor. Tapi kali ini sepuluh menit sebelum waktu keluar, aku menuju meja Tomi dan menyeretnya ke salah satu restoran mahal di lantai dua gedung itu.

“Coba bilang, kenapa kamu tadi berperilaku seperti itu?”
“Yang mana bah?”
“Memelukku dan bilang akan menikahiku. Kamu bikin aku bingung.”
“Ya memang aku akan menikahimu.”
“Pikiran gila dari mana sih? Selama ini kita kan Cuma berteman saja.”
“Memangnya orang nikah harus dimulai dari pacaran?”

Logat Batak bercampur senyuman tersaji sebagai pembuka makan siang kami. Aku memsan sup sebagai menu pembuka dan steak super tenderloin sebagai menu utama untuk kami berdua.

“Ya setidaknya kamu bicara pribadi denganku, jangan di depan semua orang begitu.”
“Bah, ya maaflah. Aku terlalu bahagia, aku baru saja naik jabatan jadi supervisor.”
“Terus hubungannya apa dengan menikah?”
“Kita kan sudah lama berteman, dan aku suka kali padamu. Cuma karena gajiku selama ini terlalu kecil, aku tidak yakin bisa membahagiakanmu. Nah sekarang gajiku tiga kali lipat dari yang kemarin. Aku siap jadi suamimu.”

Sambil memasukkan satu per satu sup ke mulutku, aku mendengar Tomi berbicara dan terpukau sampai tidak mampu menjawabnya.

“Gini ya Tom, meskipun usia kita sama tapi pengalaman kita berbeda.”
“Aku tahulah , kau udah cerita pula padaku tentang pernikahanmu yang dulu.”
“Nah itu, ketika kamu jadi suamiku maka kamu juga menjadi ayah putriku.”
“Ya pastilah itu. Tak apa, aku senang saja. Eh nanti kita bikin adek yang banyak buat dia ya.”

Tatapan menggoda seiring nada Batak di depanku. Aku terlanjur nyaman dengan Tomi sebagai teman. Meskipun dia memamerkan sejuta pesona, tapi tidak membuatku bergetar sedikit pun.

“Tom, rumah tangga itu bukan hanya soal pria wanita, cinta dan sayang. Tapi ada juga unsur pengertian dan agama didalamnya.”
“Bah, aku sudah mengertimu lebih dari cukup. Kamu yang aku mau. Dan soal agama kita atur sajalah itu.”
“Atur saja gimana?”

Aku menghabiskan sisa supku dan beralih ke daging steak di hot plate yang kelihatannya menggairahkan. Sambil mendengarkan Tomi memberikan jawaban. Apakah agama menjadi satu hal yang selama ini ada juga dalam pertimbangan Tomi. Karena agamaku dan agama Tomi memang berbeda.

“Kau bisa tetap dengan agama kau dan aku dengan agama aku.”
“Anak – anak?”
“Biarlah nanti mereka memilih ketika mereka mulai dewasa.”
“Lalu di dalam rumah apa yang akan kita ajarkan?”
“Ya kita ajarkan keduanya.”
“Maksudmu, Kalau mau makan baca dua doa, Mau tidur baca dua doa, Begitu?”

Tomi terdiam meletakkan pisau steaknya dan menopang dagu di tangan.

“Iya juga ya.”
“Hmmm kan kamu pikir pernikahan semudah itu.”
“Cemana pula solusinya?”
“Ngapain capek – capek mikirin solusi, aku juga belum tentu mau sama kamu. Aku menganggapmu selama ini sebagai teman saja. Bisa seru dan bertukar pikiran. Aku nggak bisa bayangin tidur sekamar sama kamu.”

Aku mengatakan sambil tertawa dan menikmati irisan daging yang telah kupotong kecil – kecil.

“Tapi aku setiap malam membayangkan kamu di kamarku.”
Tomi mengatakan dengan nada serius yang membuat mataku melotot ke arahnya.

“Ngapain kamu ngebayangin aku?”
“Ya karena aku suka kamulah, sejak awal aku sudah jatuh cinta padamu. Kamunya saja yang terlalu sibuk sama pekerjaan sampai aku pun tidak terlihat diantara tumpukan kertasmu itu.”
“Benarkah?”
“Iyalah, ngapain pula aku bohong sama kamu. Kamu pikir siapa yang setiap kali menaruh coklat dan sebatang mawar di mejamu setiap awal bulan?”
“Itu kamu?”
“Lalu siapa pula yang memesan kopi untukmu menjelang sore?”
“Aku pikir itu bagian dari service kantor.”
“Bah bodoh kali lah kau ini, nampaknya kau karyawan lain dapat hal yang sama?”

“Hmmm iya sih nggak juga, tapi aku baru ngeh sekarang.”
“Nah itulah kau, sibuk saja dengan pekerjaanmu.”
“Ya Tom, aku butuh karir yang settle down untuk masa depan anakku.”
“Ya aku tahulah itu, tak usahlah kau pikirkan masa depan dan membebanimu seperti itu. Esok punya nanti, nikmati saja hari ini.”
“Tom, tapi kenapa coklat dan mawarnya cuma ada setiap awal bulan?”
“Hey nona, apa yang ada di kepalamu? Itu coklat mahal tau. Aku memesannya special dari toko coklat di Belgia lewat online. Karena aku tahu lah kau ini macam Tupai suka kali makan coklat.”
“Ha…ha…ha… iya betul…betul… Ih kamu ternyata benar – benar perhatian sama aku.”
“Iyalah, nah sekarang kutanya lagi kau. Mau nggak kau jadi istriku?”

Ku alihkan pandangan mataku ke atas. Lalu kumasukkan potongan daging terakhir ke dalam mulutku. Setelahnya kubersihkan sisa – sisa yang menempel di sekitar bibirku. Dan kubiarkan Tomi menunggu agak lama dengan semua kegiatan itu.

“Hmmm… nggak. Aku nggak mu jadi istrimu. Nggak kebayang dan ibuku pasti menolakmu juga. Meskipun kami bukan keluarga yang religius tapi salah satu syarat untuk bersama adalah satu keyakinan. Dan sebaiknya kamu menetapkan syarat yang sama untuk dirimu.”
“Ahh kau…. Ya sudahlah tapi aku nggak akan berhenti kirim kau coklat dan kopi. Sampai nanti ada gadis cantik baru yang akan kukirimi menggantikanmu.”

Aku tertawa sambil berdiri. Tomi berdiri merapat ke arahku.

“Eh kenapa pula kau ajak aku makan ke tempat mahal ini, siapa yang mau bayar nih?”
“Ya kamulah, masa aku. Kan sekarang gajimu banyak.”
“Bah aku baru diangkat tadi siang, mana ada lagi gaji datang.”
“Terserah deh…..”

Aku mengambil ponselku dari meja dan berlalu mendahului Tomi yang masih sibuk mencari kartu kredit di dompetnya.

Dengan segala perbedaan yang ada, aku dan Tomi tetap menjadi sahabat sampai saat ini. Dan beberapa bulan kemudian akhirnya coklat dan kopi itu tidak lagi datang ke mejaku. Tomi pindah tugas ke daerah asalnya di Sumatera. Sesekali kami bertukar kabar lewat pesan. Sampai suatu hari sebuah surat undangan berwarna merah emas datang ke mejaku. Akhirnya Tomi menemukan gadis yang dia cari. Dan aku bahagia untuk sahabatku itu.

Salam sayang Ans

No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/