Saturday, September 30, 2023

Harga Sepotong Cinta

 



Dua puluh tahun berlalu dari cerita cinta pertamaku. Cerita cinta yang meninggalkan luka untuk memelukku selamanya. Dua puluh tahun lalu, aku hanyalah seorang gadis miskin, namun aku tidak pernah mengharapkan dunia.

Ketika dia datang memperkenalkan aku pada rasa yang bernama cinta, bahagia berdatang seiring pelangi yang selalu mewarnai hari. Meski akhirnya dia menutup kisah kami dengan balutan luka dalam. Mungkin itu yang disebut bagian dari proses perjalanan.

Sekarang, di usia yang tidak muda lagi, aku bertemu dengannya. Melihat dia dengan kebahagiaan yang berbeda, dan aku pun dengan kisah yang lain pula. Suatu sore di lobby gedung pertemuan untuk seminar dengan undangan khusus. Dari kejauhan, dia menatapku, dan aku hampir tidak dapat mengenalinya.

Tentu saja, dia jauh lebih tampan dibanding dua puluh tahun lalu. Dia bukan lagi pria ingusan yang bahkan tidak bisa membelaku ketika orang tuanya mencoret namaku dari daftar kualifikasi. Dia berjalan ke arahku tanpa aku menyadarinya. Tiga langkah ketika dia hampir tiba di depan hidungku, barulah aku mengenalinya.

Gunawan, pria masa lalu. Dengan pipi lebih berisi dan tubuh atletis, dia berdiri menyapaku.

“Hai, masih mengenaliku?”

“Hai, pria masa lalu. Apa kabarmu?”

Tidak terbayang bagaimana aku bisa menatapnya dengan ekspresi sedingin itu. Dan masih punya sedikit kekuatan untuk melemparkan candaan. Jika saja jiwaku bisa bersuara, maka mungkin getaran dan gemuruhnya mampu membangunkan semesta. Betapa hatiku melonjak bahagia dengan pertemuan ini. Sekaligus terbakar karena ingatan luka masa lalu yang membuatku berada di hari ini.

Setelah beberapa waktu, kami masuk ke ruang seminar. Ternyata kami masuk terlalu awal, belum ada seorang pun di ruangan itu selain panitia. Kami mengambil tempat kursi belakang, sejenak untuk berbincang.

“Bagaimana kamu sekarang?”

“Aku? Seperti yang kamu lihat. Aku semakin cantik dan cemerlang. Aku sekarang ibu dari seorang putri.”

Gunawan tersenyum kecut menanggapi gurauanku. Membuatku tergelitik untuk bertanya apakah dia dalam keadaan yang sama.

“Berapa anakmu sekarang?”

“Aku punya tiga orang anak. Dari istri yang….. dipilihkan orang tuaku.”

“Hmm.. syukurlah. Kelihatan kamu begitu bahagia.”

“Jangan pernah menilai orang dari apa yang kau saksikan.”

“Aku mencoba realistis, lihat dirimu sekarang. Dan tentunya tiga orang anak itu lahir dari kebahagiaan bukan?”

Gunawan menunduk menatap lantai.

“Aku tidak pernah melupakanmu. Setelah kepergianmu dari hidupku, aku bahkan tidak punya keinginan untuk mengenal wanita baru. Salah satu alasan Ibuku memilih yang menurutnya sempurna ketika waktu menikah telah tiba.”

Dalam hatiku mengatakan mungkin saja itu dusta. Jika pun itu sebuah kebenaran, maka tidak ada dampaknya juga bagiku. Dia telah membuktikan untuk menghempaskanku dari masa lalu menuju masa depan yang tidak mudah, namun menguatkan.

Aku memilih untuk tidak menanggapi kata-katanya. Cukup sekali aku tenggelam karenanya, setelah dua puluh tahun tentu aku bukan lagi gadis kecil yang berharap cinta darinya.

“Dan kamu? Siapa akhirnya pria beruntung yang menjadi suamimu?”

“Beruntung? Jika pria yang menjadi suamiku adalah sebuah keberuntungan, lantas kenapa kamu melepaskan kesempatan saat itu?”

“Karena aku lemah dan bodoh.”

“Hmm… Iya, aku akhirnya mencoba mencintai pria lain dua belas tahun lalu. Namun dua tahun setelah pernikahan kami, aku melepaskannya. Aku tidak ingin melukai jiwaku sendiri. Aku memilih untuk bahagia dengan restu dan nyanyian semesta. Tanpa perlu melukai hati lain yang diciptakanNYA.”

“Maksudmu? Kamu bercerai dengan suamimu? Kamu sekarang sendiri?”

Mata berbinar kulihat di wajahnya. Kami bertukar nomor telepon sekadar menjalin hubungan pertemanan. Beberapa kali dia menyapaku, dan aku tanggapi dingin saja. Memang dua puluh tahun lalu aku pernah mengobarkan api cinta untuk pria yang sama. Namun sekarang aku berani memastikan bahwa api itu telah sepenuhnya padam.

Beberapa kali dia mengirimiku pesan dan mencoba menyinggung tentang memulai sebuah hubungan. Namun aku tidak tertarik untuk menanggapinya. Bagiku, cinta pertama yang telah kudewakan itu telah lama mati. Dia yang hari ini kukenal di ponselku adalah teman baru.

Hidup sebagai single mom memang serasa manis – manis dengan beberapa sentuhan asam di dalamnya. Namun demikian, aku tidak mencoba membuang rasa asam itu dan menggantinya dengan kemanisan yang palsu. Sejauh ini aku percaya bahwa rasa asam itulah yang akhirnya membuatku dikatakan ‘sempurna’.

Iming-iming Gunawan tentang cinta sejati kami yang mungkin bisa dihidupkan kembali tidak membuatku beranjak dari tempatku berdiri. Dua puluh tahun lalu mungkin cinta adalah tujuan dan kebahagiaan. Namun hari ini cinta hanyalah salah satu cabang kehidupan. Yang rapuh dan mudah patah.

Setelah beberapa lama dan banyaknya permintaan dari Gunawan untuk mengajak aku makan siang, akhirnya kuterima juga tawarannya hari ini. Aku memilih tempat yang tidak meng-obrak abrik perasaan. Sebuah tempat makan di tengah pusat perbelanjaan. Dengan siluet matahari siang yang dapat kami lihat dari balik kaca. Langit Jakarta nampak biru di antara gedung – gedung tinggi yang berdiri dengan angkuhnya.

“Setelah dua puluh tahun ternyata rasaku padamu tetap sama.”

“Rasa yang mana?”

“Rasa yang pernah kuabaikan dan kutinggalkan karena permintaan orang tuaku.”

“Maksudmu? Setelah dua puluh tahun kamu masih tertinggal di masa lalu dan tidak bertumbuh?”

Gunawan terkejut dengan kata sambutanku. Mungkin dia berharap aku akan bahagia karena sampai detik ini aku masih wanita yang dipujanya. Namun Gunawan lupa bahwa aku wanita. Membayangkan ada hati lain dengan tiga anak yang mungkin akan terluka. Dengan alasan cinta, manusia tidak dibenarkan untuk menghancurkan hati manusia lain.

“Aku berhenti menumbuhkan rasa sejak aku kehilanganmu. Dan mengutuk diriku sendiri atas kelemahan dan kebodohanku.”

“Dan aku, sejak aku dilempar jauh oleh orang tuamu. Aku bertumbuh lebih tinggi. Mungkin aku pernah hinggap di cabang yang salah dan membuatku terjatuh. Namun jatuhku adalah anugrah dimana aku mendapatkan putriku yang akan selalu menjadi penuntun arahku untuk tidak buta."

“Apakah kali ini kamu yang akan melemparkanku dari masa depan ke masa lalu?”

“Mungkin saja.”

“Kenapa kamu menolakku?”

“Kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu terlalu lemah dan bodoh membiarkan aku pergi dua puluh tahun lalu. Dan sampai hari ini kamu masih di rasa yang sama. Maafkan aku, tapi pria lemah dan bodoh tidak ada dalam daftar kualifikasiku. Aku yang hari ini tahu apa yang aku inginkan. Aku ingin seorang pria yang telah selesai dan bahagia dengan dirinya sendiri. Aku ingin seorang pria yang settle down dan tenang dengan semua langkah kaki masa depannya.”

Gunawan nampak terdiam.

Pengalaman hidup membuatku belajar banyak. Bahwa kembali ke masa lalu tidak pernah berguna. Karena hidup adalah tentang hari ini dan masa depan. Sesekali bolehlah menoleh ke belakang. Untuk menjadi pengingat kesalahan agar tidak kembali dilakukan.

Sekali lagi menoleh ke belakang untuk merasa bangga betapa kuatnya aku telah bertahan.

No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/