Saturday, September 30, 2023

Sendiri Yang Tidak Biasa



Tantangan yang berbeda untuk menjalani waktu dalam kesendirian. Cerita di tahun ke lima perjalanan sebagai ibu tunggal. Seringkali bukan hanya tentang uang dan kesulitan mata pencaharian. Tapi muncul juga kerikil – kerikil tajam yang datang sekadar untuk menguji.

Pagi itu aku berangkat ke kantor seperti biasa. Tidak pernah terpikirkan bahwa hari itu, untuk pertama kalinya seorang wanita akan datang dan menegurku, menggoda suaminya. Entah dia mendapatkan berita dari siapa bahwa aku adalah single mom yang sedang dekat dengan prianya. Baiklah, buatku tidak masalah. Aku tahu posisiku selalu saja mungkin menghadirkan rasa cemburu di hati banyak orang. Namun apa hendak dikata, ini pilihanku untuk berjalan dan bahagia. Bahkan aku tidak perlu menjelaskan kenapa aku memilih persimpangan.

Sebenarnya suami ibu itu adalah atasanku. Selama ini aku menghormatinya sebagai atasan yang selalu peduli pada bawahan. Semua staff merasa dirangkul di bawah kepemimpinannya, termasuk aku tentunya. Dan aku pikir posisiku sama saja seperti staff lain yang ada di department yang sama.

Hingga suatu hari, aku terjebak di kantor karena hujan. Biasanya aku pulang menggunakan taksi atau meminta sopir kantor mengantarku. Namun waktu itu hari sudah agak malam. Sopir kantor juga sudah pulang dan mobil – mobil dinas telah masuk ke kandang. Aku putuskan untuk naik taksi saja.

Belum sempat aku menghubungi taksi, bapak itu datang ke mejaku. Memintaku mengerjakan beberapa dokumen tambahan. Sebenarnya dalam hati aku mengumpat juga. Ini sudah lewat jam kerja, balitaku di rumah pasti sudah menunggu. Lagi pula aku tinggal di kantor malam ini bukan untuk lembur. Aku masih disini karena menunggu hujan agak reda.

Hampir semua staff sudah meninggalkan pekerjaan waktu itu, dan aku, masih berjibaku dengan kertas – kertas tambahan yang baru saja datang ke mejaku. Karena bapak atasanku itu memang baik dan peduli dengan karyawan, ya sudah aku pikir tidak apalah malam ini aku meluangkan sedikit waktu untuk membantunya.

Waktu menunjukkan hampir pukul sembilan. Pekerjaan selesai dan aku bersiap pulang. Sebelumnya aku laporkan dulu kepada bapak itu di ruangannya bahwa pekerjaan selesai.

“Pak, semua laporan sudah saya email. Ini berkasnya saya taruh lagi di meja bapak ya.”

“Oh iya, terima kasih. Sudah agak malam, kamu pulang sama siapa?”

“Saya akan naik taksi biru saja seperti biasa, Pak.”

“Saya setiap hari melalui jalanan yang menuju ke rumahmu, biar kamu sekalian saya antar ya.”

Bapak itu bahkan tidak menunggu jawabanku. Dia menutup laptop, mengambil tasnya dan berlalu dengan kunci mobil di tangan. Aku hanya bengong melihat dia mengatakan seolah memberi instruksi, tanpa peduli apakah aku akan bersedia untuk ikut di mobilnya. Aku segera kembali ke meja kerjaku, menyambar tas, dan berjalan mengikutinya.

“Saya ingin makan sate dulu, di Lenteng Agung ada sate yang enak banget. Kamu temenin ya, paling sebentar. Sekalian nanti bisa bungkus buat keluargamu. Oh iya, disitu banyak makanan enak nanti kamu pilih aja.”

Aku mulai curiga ada unsur sengaja membuatku tinggal di kantor lebih lama malam ini. Dan itu membuatku ingin lebih jelas melihat bisik – bisik staff lain yang kudengar selama ini. Aku tahu mereka suka menggosipkan aku, dengan mengatakan bahwa bapak atasan ini sedang mengincarku.

Namun hatiku selalu berusaha menguatkan diri. Mengincar untuk apa? Bapak ini memang baik pada semua orang, bukan hanya padaku. Lagi pula usianya yang terpaut sepuluh tahun dengan aku. Dia juga memiliki istri dan anak, hidupnya lengkap. Dengan alasan apa mereka mengatakan itu, aku juga tidak tahu.

Sesampainya kami di restoran itu, Bapak atasan itu memesan beberapa menu makanan dan minuman, lagi – lagi tanpa persetujuanku. Aku mulai melihat keinginannya untuk menunjukkan arogansi. Baiklah, ayo kita lihat apa yang akan terjadi malam ini, batinku.

“Kamu mau nggak jadi istri kedua saya?”

Bersyukurnya aku bahwa tusuk sate terakhir baru saja kuletakkan di piring ketika pertanyaan itu datang. Jika tidak, aku membayangkan tusuk sate itu bisa langsung loncat ke tenggorokanku. Aku tetap mencoba tenang dengan pertanyaannya.

“Apa yang membuat Bapak menawarkan hal semacam ini pada saya?”

“Karena kamu punya semua yang saya mau. Dan saya bisa memenuhi semua kebutuhanmu.”

“Memangnya Bapak tahu saya butuh apa?”

“Kasih sayang, kehangatan, dan uang.”

Ingin kumakan semua tusuk sate yang sudah tidak berdaging itu di hadapannya, untuk menunjukkan betapa kuat diriku. Kalau dia pikir uang dan ketampanan cukup ampuh untuk membuatku berkata iya.

“Istri Bapak tahu?”

“Segera jika kamu sudah berkata iya.”

“Apa kurangnya istri Bapak?”

“Dia terlalu sibuk mengurus rumah, anak – anak, dan lupa mengurus dirinya sendiri.”

“Lalu apa kelebihan saya dari istri Bapak?”

“Kamu cantik, pintar, dan seksi.”

Ya ALLAH, aku pikir cerita seperti ini cuma ada dalam drama settingan sutradara. Tapi sekarang aku malah jadi pemain utama dari drama dunia.

“Bapak akan menikahi saya secara resmi?”

“Tidak, karena di hari tua saya akan tetap tinggal dengan istri saya yang sah. Darimu aku juga tidak menginginkan anak baru. Kita akan bersama sebagai dua orang yang saling membutuhkan.”

Aku mulai bersiap meninggalkan orang yang selama ini aku hormati. Dan aku akan meninggalkan dia tanpa rasa hormat disana.

“Bapak tahu nggak, beberapa tahun lalu ketika saya masih punya suami saya juga sama seperti istri bapak. Dasteran, tanpa bedak, dan sibuk saja sama bayi. Hari ini apa yang ada di hadapan Bapak adalah diri saya yang bertransformasi karena kebutuhan akan pekerjaan.”

“Jika kamu jadi istriku, kamu nggak perlu ke kantor. Kamu bisa di rumah dan nyaman dengan semua fasilitas yang akan aku berikan.”

“Dan ketika saya mulai memakai daster lagi? Bapak akan mulai berkenalan dengan wanita baru?”

“Kamu mungkin berbeda dari istriku. Kalau kamu mau pernikahan yang sah pun aku akan berusaha memberikan.”

“Terima kasih pak, saya hanya mau bilang. Sejak awal saya tidak tertarik dengan semua tawaran dan iming – iming Bapak. Saya wanita yang utuh dan saya bahagia. Bapak ingin makan sate tapi tidak mau repot memelihara kambingnya. Padahal jika bapak tahu, ketekunan memelihara hubungan bisa memberikan Bapak lebih banyak dari yang Bapak butuhkan.”

Aku berjalan keluar restoran dan menghentikan taksi biru untuk melaju ke rumahku. Aku lega bahwa akhirnya aku bisa membuktikan apa yang selama ini hanya bisik – bisik belaka. Keesokan harinya, rentetan kalimat dampratan kuterima di ponselku dari istrinya.

Aku berdiri di sebelah istrinya untuk memahami perasaan sesama wanita. Aku cukup blok saja nomornya tanpa berdebat panjang. Sejak malam itu aku belajar bahwa sebaik apapun aku menampilakan diri, akan selalu ada mata yang melihatku dari sudut pandang yang berbeda. Aku tidak perlu menjadi pribadi yang lain. Karena kebenaran selalu membuktika wajah asli pada akhirnya.


Salam Sayang Ans

No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/