Saturday, September 30, 2023

Ikhlas Yang Menyakitkan

Gambar dibuat dengan AI generate

Sebuah cerita tentang luka. Memang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Bahkan hubungan besar yang dimulai dengan cinta dan janji setia di depan Sang Pencipta pun sering kali tidak cukup tangguh untuk diuji. Beberapa ujian datang seperti badai yang menyakitkan. Dan beberapa lagi hadir bagai angin sepoi-sepoi yang melenakan. Keduanya sama memiliki peluang untuk membuat manusia lupa tentang langkah awal apa yang diinginkannya.

Namanya Verily, aku biasa memanggilnya Mbak Veri. Malam itu disaat karyawan lain telah keluar dari kantor, aku pun bersiap pulang. Keluar dari ruangan, kulihat masih ada satu sudut lampu menyala. Disaat lampu yang lain telah padam tak berpenghuni. Waktu memang telah menunjukkan pukul 21.00 WIB. Namun ruangan itu nampak sepi, tanda tidak ada lagi orang disana.

Aku melangkah mendekat untuk memastikan sekaligus mematikan lampu ruangan itu. Aku pikir mungkin penghuni terakhir lupa mematikan karena terburu-buru. Sayup-sayup kudengar suara tangisan, suara siapa itu? Aku hampir saja melangkah balik karena ketakutan keburu menyergapku. Tapi kudengar dia sedang berbicara dengan seseorang. Ketika suara bantingan terdengar, aku berlari masuk ke ruangan itu.

Aku melihat Mbak Veri duduk di lantai sudut ruangan. Dengan mata sembab dan ponsel hancur di depannya. Mbak Veri pun melihat aku berdiri di pintu. Aku tidak menunggu aba-aba untuk menghampirinya. Aku duduk di lantai sebelah Mbak Veri. Memang sudah lama kudengar desas desus tentang rumah tangganya yang sedang diambang kehancuran.

Namun karena kami beda divisi dan tidak terlalu akrab, aku menerima kabar itu sebagai gosip belaka yang tidak perlu ditindaklanjuti. Melihat Mbak Veri dengan kondisi sehancur ini, aku pun tidak tahu apa yang harus dikatakan selain duduk disampingnya.

“Silahkan kalau Mbak perlu telinga untuk meringankan beban hati.”

Aku membiarkan Mbak Verily menangis lebih keras. Dan beberapa waktu sampai benar-benar reda. Kuberikan sekotak tisu yang kuraih dari mejanya.

“Suamiku menikah lagi.”

Jawaban yang sebenarnya sudah masuk dalam tebakanku.

“Alasan cinta selalu bisa membenarkan segalanya. Bahkan menyakiti hati yang telah bertahun-tahun dijaga bagai permata.”

Mbak Verily mulai menjelaskan satu per satu.

“Aku masih ingat sepuluh tahun lalu ketika Mas Sandi mencoba meraih hatiku. Banyak penolakan yang aku berikan namun tidak menyurutkan langkahnya. Dia terus berusaha hingga meluluhkan hatiku dan menerimanya. Rumah tangga kami bahagia dan lengkap dengan seorang putra dan seorang putri. Aku memiliki karir yang cemerlang, Mas Sandi memiliki perusahaan yang berkembang. Setiap tahun kami sekeluarga pergi liburan keluar negeri. Apapun keinginan dan kebutuhan selalu bisa kami penuhi. Hidup kami boleh dibilang sempurna.”

Mbak Verily tersenyum mengingat keindahan rumah tangganya. Sebelum akhirnya melanjutkan dengan nada perih.

“Sampai seorang wanita baru datang dalam hidupnya. Wanita yang sebenarnya juga tidak bermaksud menggoda suamiku. Mas Sandi bertemu dengannya saat mengantarku ke rumah sakit. Saat aku sedang masuk ke ruangan dokter, di ruang tunggu itu Mas Sandi berbincang dengan wanita itu.

Wanita berhijab panjang yang duduk di sebuah kursi roda. Dengan seorang bayi di pangkuannya. Dan ternyata dia seorang ibu tunggal yang baru saja kehilangan suaminya. Entah bagaimana akhirnya mereka bertukar nomor telepon dan berkomunikasi lebih jauh. Aku pun tahu komunikasi mereka karena Mas Sandi sering menunjukkan padaku.

Tapi aku pikir wanita itu bukan sainganku dengan kondisinya yang tidak bisa berjalan. Dan aku secara apapun jauh di atasnya. Aku cantik, berpendidikan, dan memiliki karir. Aku pun telah melengkapi Mas Sandi dengan melahirkan anak-anaknya. Aku pikir kedekatan Mas Sandi dengannya hanyalah sebatas belas kasihan. Hingga suatu hari Mas Sandi membawa wanita itu ke rumah kami dan mendorong kursi rodanya memasuki rumah. Mereka meminta izin untuk menikah. Aku tidak serta merta mengizinkan suamiku menikah lagi.

Meskipun saat itu alasannya adalah belas kasihan tapi tetap saja membagi hati bukanlah hal yang bisa diterima. Namun rasanya saat itu arogansi menguasaiku. Aku ingin Mas Sandi tahu bahwa aku baik-baik saja dengan keputusannya. Aku tidak akan bersaing dengan seorang wanita cacat. Aku mulai membuat sederet perjanjian di depan notaris.

Bahwa semua harta selama pernikahan kami adalah hakku dan anak-anak. Bahwa anak-anak dengan kondisi apapun adalah mutlak dibawah perwalianku. Dan deretan perjanjian yang mengamankan diriku. Namun nyatanya perjanjian itu tidak bisa mengurung hati suamiku dan bahkan anak-anakku.

Wanita itu dengan segala usaha Mas Sandi akhirnya sedikit demi sedikit pulih dari kelumpuhannya. Namun tetap dalam banyak hal aku lebih dari dia. Aku tetap merasa aman dengan segalanya. Aku bahkan mengizinkan anak-anakku setiap kali datang ke rumah wanita itu bersama Mas Sandi untuk berkunjung. Dan anak-anak selalu bahagia untuk menceritakan banyak hal saat kembali ke rumah. Jika dia memang baik dan mengasihi anak-anak, aku pun tidak punya alasan untuk membencinya.

Namun beberapa hari terakhir aku menyadari jika ternyata aku telah kehilangan semuanya. Mas Sandi dan anak-anak. Wanita itu memang tidak memiliki karir secemerlang karirku. Tapi dia memiliki keahlian memasak yang membahagiakan suami dan anak-anakku. Apapun yang Mas Sandi dan anak-anak minta, dia akan memasak dengan segera di dapurnya. Dia mungkin tidak secantik diriku tapi dia memiliki waktu mendongeng untuk anak-anakku. Dia juga tidak secerdas aku tapi dia memiliki kepatuhan terhadap agama yang dicontoh oleh anak-anakku.

Dan hari ini aku merasa jadi wanita termiskin dan termerana di dunia. Apa yang aku banggakan ternyata tidak membuatku berarti di mata suami dan anak-anakku.”

Mbak Verily menangis dengan sangat keras di bahuku. Jujur aku bingung bagaimana menerima semua curhatannya. Dan aku bukan tipe wanita yang suka "mem-puk-puk" pundak wanita lain ketika mereka dalam kesedihan dan lemah. Bagiku kekuatan harus tumbuh dari dalam diri sendiri. Dalam banyak kasus sudah terbukti bahwa pelukan akhirnya malah melemahkan.

Aku diam membiarkan air mata Mbak Verily habis. Sampai menjelang tengah malam. Dan akhirnya Mbak Verily mengucapkan terima kasih karena aku menyediakan telinga untuk membuatnya merasa lebih ringan. Aku memang tidak memberi solusi karena sungguh menurutku solusi itu ada dalam diri Mbak Verily sendiri.

Aku pernah di posisi itu dan aku tahu rasanya ketika dunia seolah meminta untuk memutuskan. Melanjutkan hidup bersama orang yang pernah kupilih sebagai belahan jiwa. Atau memilih untuk sendiri bersama diriku yang kukasihi. Dan akhirnya aku memilih menjadi Ibu tunggal selama dua belas tahun terakhir ini.

Satu hal yang aku pelajari dari kisah malam ini adalah tentang kebahagiaan yang sejati. Pastikan apa yang ingin dijalani untuk menentukan kemana kaki melangkah. Dan setelahnya setiap orang harus memutuskan.

Keputusan yang di akhir cerita sangat menentukan apa yang akan kita dapatkan. Membanggakan diri karena pujian yang lain bukan karena pencapaian yang diharapkan. Kejutan pahit dan lintasan manis adalah bagian dari hidup. Suka tidak suka itulah yang membuat hidup disebut sempurna.

Salam sayang Ans



No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/