Saturday, September 30, 2023

Menjadi Istri

Gambar dibuat dengan AI generate

"Boleh aku ngutang beras seliter dan uang lima puluh ribu?"

Bukan pertama kalinya Martha datang ke toko sembako milikku untuk hal seperti ini. Jika Martha adalah orang yang kekurangan maka aku akan sangat mengerti. Aku bukan tipe orang yang segan memberi pertolongan. Hanya saja seringkali kedatangan Martha membuatku geram, dengan suaminya.

"Kenapa sih Ta, cobalah bicarakan dengan suamimu. Mana bisa lagi di jaman ini orang hidup dengan uang segitu?"

"Aku tidak mau timbul kekacauan yang akhirnya merusak emosiku. Sudah berkali – kali aku mencoba bermusyawarah dengannya tapi entah kenapa selalu saja aku kalah."

Martha adalah tetangga dekat rumahku. Setiap kali dia akan datang untuk meminjam uang atau seliter beras di toko sembako milikku. Suaminya seorang pengusaha memiliki beberapa cabang distributor sembako juga toko ponsel di pusat perbelanjaan ibu kota Jakarta. Lalu kenapa Martha setiap kali begitu?

Dari pengakuannya, setiap hari Martha diberikan uang lima puluh ribu oleh suaminya. Uang yang digunakan untuk makan dan keperluan sehari – hari, diluar pembayaran – pembayaran bulanan. Martha memiliki tiga orang anak, usia sepuluh, enam, dan empat tahun. Soal penampilan, tidak ada yang berlebihan dalam diri Martha. Kulitnya yang memang putih, sehari - hari sering kali dibalut daster harga kurang dari lima puluh ribu.

Bisa dibayangkan bagaimana sesaknya Martha harus mengatur keuangan rumah tangga dengan keterbatasan ini, untuk makan dan uang jajan anak - anaknya. Sementara Martha tidak diizinkan suaminya untuk bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Menurut suami Martha, tugas utamanya sebagai istri adalah dirumah melakukan pekerjaan rumah tangga, mendidik anak – anak, dan memastikan suaminya memiliki tempat untuk pulang.

Semua perabotan di rumah Martha, bahkan baju – baju dan peralatan dapur, semua dipilih dan dibeli oleh suaminya. Jika ada sesuatu yang dibutuhkan, maka suaminya yang akan memutuskan apakah benda itu perlu dibeli atau tidak. Jika perlu, maka suaminya yang akan membeli dan Martha terima pakai saja. Jika menurut suaminya benda yang diminta Martha itu tidak perlu dibeli, maka sekeras apapun Martha meminta, maka benda itu tetap tidak ada dalam daftar belanja suaminya.

Berkali – kali Martha mencoba menjelaskan pada suaminya. Bahkan secara rinci dengan sebuah catatan, bagaimana uang lima puluh ribu dapat bekerja untuk sehari – hari kehidupan mereka. Namun suaminya selalu berdalih, disitulah kecerdasan seorang wanita diuji. Menjadikan yang tidak cukup menjadi cukup.

Hal inilah yang membuat Martha seringkali harus gali lubang tutup lubang demi kebutuhan keluarga dan anak – anaknya. Beruntungnya Martha, kadang jika orang tuanya datang mengunjungi, maka akan memberikan sejumlah uang untuk jajan anak – anaknya sebagai bentuk kasih sayang. Dan uang ini yang kemudian oleh Martha digunakan untuk menutup hutang – hutangnya pada tetangga.

Jika suaminya adalah orang yang tidak berpenghasilan, tentulah bisa dimengerti. Namun apa yang dilakukan itu disebutnya dengan penghematan. Lantas kemana uang hasil usaha suaminya selama ini pergi? Martha tidak pernah mendapat jawaban pasti. Bahkan berapa deretan angka yang ada di rekening suaminya pun Martha tidak tahu. Martha hanya tahu setiap pagi dia akan mendapatkan lima puluh ribu.

Tuntutan lain adalah ketika suaminya pulang di sore hari, maka anak – anak dan rumah sudah harus dalam kondisi rapi. Pernah sekali suaminya datang, karena beberapa hal anak Martha yang balita masih bermain di luar dan sedikit kotor karena seru dengan teman – temannya. Seketika tamparan pedas mendarat di pipi Martha. Tamparan yang tidak segan diperlihatkan di depan semua orang dan tetangga. Tidak bisa kubayangkan perasaan Martha saat itu. Mungkin jika aku di posisi yang sama, reflek aku akan membalas seketika. Alih – alih menjaga kehormatan suami, Martha memilih berlari dan masuk ke dalam rumah. Setelah itu kami semua tidak tahu lagi apa yang terjadi.

Pernah suatu siang aku mencoba berbicara dari hati ke hati bersama Martha.

"Kenapa sih Mar, kamu nggak berpisah saja darinya?"

"Aku terlalu mencintainya."

"Cinta itu kan soal rasa Mar, butuh di pupuk dan di pelihara. Bagaimana hubungan baik akan muncul jika yang sibuk hanya satu orang saja sementara yang lain sama sekali tidak peduli?"

"Sejak aku kecil, aku tidak pernah hidup tanpa pria. Dulu Papi segalanya bagiku. Dan setelah aku menikah suami adalah hidupku. Sungguh tidak kubayangkan bagaimana jika aku harus tanpa suami."

"Kan kamu bisa kembali ke rumah orang tuamu. Papimu masih sehat, memiliki bisnis yang bagus. Jelaskan saja pada mereka tentang apa yang kamu alami. Menurutku saran mereka pasti sama dengan aku. Atau hal lain, mungkin mereka bisa membantumu untuk berbicara dengan suamimu."

"Aku adalah anak tertua dari orang tuaku. Tidak kubayangkan bagaimana reaksi kecewa mereka jika tahu aku tidak bisa mempertahankan rumah tangga hanya karena alasan uang lima puluh ribu."

"Tapi kan Mar, bukan hanya uang itu masalahnya. Masalah lain, suamimu sama sekali tidak memberikan rasa hormat padamu. Lihat dirimu, pernahkah suami memanjakan dan memberimu hadiah? Atau sesekali mengajakmu pergi berdua saja? Nggak kan? Suamimu hanya mau tau rumahnya rapi, anak – anak tumbuh, dan dia punya tempat yang disebut rumah. Dia tidak memikirkan kebahagiaanmu."

"Tapi dia juga tidak melakukan hal itu untuk dirinya sendiri."

Martha begitu yakin bahwa setiap pagi suaminya keluar untuk mengurus usaha – usaha mereka dan kembali di sore hari ke rumah tanpa ada acara lain di luar sana. Padahal dari slentingan – slentingan yang kudengar, banyak yang melihat suami Martha seringkali singgah di tempat pijat urut plus – plus.

Apapun alasannya diakhir pembicaraan, Martha tetap dengan pendirian untuk bertahan dalam pernikahan. Aku kagum pada pendirian dan imannya. Dia percaya bahwa dengan ketulusan dan perjuangan yang dia lakukan, suatu hari dia akan tiba di tempat yang indah pada akhirnya. Kepercayaan yang aku aminkan.

Namun sampai saat itu tiba, sebagai manusia kita tidak pernah bisa membaca masa. Apakah waktu itu akan tiba akhirnya atau waktu itu akan berakhir sebagai sebuah asa belaka. Aku sendiri memilih untuk mengakhiri kegelisahan hati. Bagiku hidup hanyalah tentang hari ini. Jika bersama seseorang malah justru membuat hatiku terasa sunyi maka, aku pastikan bahwa aku sedang bersama orang yang salah. Betul memang manusia tidak pernah benar – benar tahu keputusannya baik atau buruk, benar atau salah, sampai manusia itu sendiri masuk dan menjalaninya.

Namun pun demikian jika kenyataan sudah di depan mata dan berusaha dinaifkan karena segenggam asa, menurutku bukanlah hal yang bijak. Menjadi bijak dengan memiliki pilihan, yang diambil dan diinginkan secara nyata. Untuk kemudian bertanggung jawab atas pilihan itu sendiri. Sebagai manusia yang telah tumbuh dan dewasa.


Salam sayang
Ans


No comments:

Post a Comment

Fatherless dan Pengaruhnya Dalam Tumbuh Kembang Anak

  Artikel ini terbit di  Singlemomsindonesia.org Link:  https://singlemomsindonesia.org/fatherless-dan-pengaruhnya-dalam-tumbuh-kembang-anak/